Pesawat CN 235, Dulu Dihina-Hina Kini Dipuja-puji
Apa pun namanya politik itu tak pernah punya teman abadi. Yang abadi di politik hanya kepentingan. Dahulu mungkin dihina-hina. Kini dipuja-puji setinggi langit. Sebaliknya, dahulu dipuja-puji kini dihina-hina.
Atas adanya kenyataan ini ingat melayang pada sosok mendiang Perdana Menteri Inggris Winston Churcil. Dia sangat benci sama politisi yang baginya tak ubahnya seperti badut komedi. Baik suka atau benci semua ada argumennya bagi politisi. Sikap 'dele sore tempe' bagi politisi bukan hal yang buruk, dosa, atau etis. Seolah tak ada yang baik, tak ada yang salah dalam politik.
"Bahkan ketika ada politisi pernah berjanji kepada rakyat akan membuat jembatan dalam waktu tertentu dan ketika waktu terlewati jembatan yang dijanjikannya tak terbangun, politisi selalu punya alasannya,'' begitu ucap Churchil geram.
Situasi seperti ini menimpa pada sosok pesawat CN235 buatan PT Dirgantara Indonesia (PTDI) Bandung. Pesawat hasil rancang bangun putra Indonesia ini pada awal pembuatannya dibuli habis. Mungkin generasi milenial tidak tahu betapa pesawat itu mendapat presepsi sangat buruk kala itu. Ledekan datang dari para politisi beserta tokohnya hingga publik. Pesawat karya mantan Presiden BJ Habibie beserta para 'muridnya' diejek-habis-habisan seolah barang rongsokan tak berharga.
Ejekan kala itu memberi singkatan nama CN 235 yang diberikan Presiden Soeharto dengan sebutan Tetuko. Nama yang seharusnya menjadi nama ideal karena merupakan nama kecil dari Gatotkaca, kesatria terbang Pandawa, diplesetkan menjadi: Sing teko ora ono-ono, sing tuku ora teko-teko (yang datang tak kunjung ada, yang akan beli tak kunjung datang ). Elit politik saat itu mengejek terus bila pesawat CN235 yang sejatinya sangat canggih sebagai produk murahan layaknya barang rakitan mainan lego. Mereka tak peduli dan menutup mata atas fakta bila pesawat made ini 'Bandung' ini bisa terbang dengan perangkat fly by wire alias dikemudikan dengan tenologi IT. Pesawat ini bahkan direndahkan kelasnya hanya disetarakan dengan beras ketan. Ini karena saat itu pemerintah melakukan imbal beli dengan Thailand yang membayarkan penjualan pesawat tersebut dengan cara barter memakai beras ketan. Mereka tak paham betapa sulit membuat dan merangkai puluhan ribu komponen sebuah produk pesawat. Jerih payah ribuan insinyur yang sekolah bertahun-tahun di berbagai universitas teknologi terkemuka dunia dianggap sepi.
Tak hanya itu elit politik, terutama yang anti Soeharto dan BJ Habibie, mengolok CN 235 sebagai pesawat rendahan menjadi hal kian biasa. Ada sosok yang politisi yang sangat terkenal yang kemudian mengoloknya bila nanti terjadi perang, maka pesawat CN 235 itu tak perlu di tembak. Mengapa? karena sebelum di tembak pesawat itu sudah jatuh sendiri. Olokan ini makin kencang karena pada saat itu terjadi insiden jatuhnya pesawat terbang ini di pegunungan yang berada di kawasan tengah Jawa Barat. Maka makin membahana dan lengkaplah ejekan itu.
Elit media masa ibu kota juga kerap ikut memberi porsi besar kepada olokan itu. Sebutannya macam-macam. Bahkan ada yang tega sampai menyebut pesawat tak bermutu. Uniknya, ketika media ini dituntut ke pengadilan, media itu buru-buru minta maaf. Untungnya Pak BJ Habibie sebagai direktur PT Nurtanio (saat ini bernama PT Dirgantara Indonesia) dengan lapang memaafkannya. Kasus ditutup. Padahal kalau di bawa ke pengadilan kemungkinan besar akan menang serta mendapat ganti rugi miliaran dolar AS. Media massa itu pun langsung bisa bangkrut total.
Tak hanya lembaga media saja, sikap peyoratif kepada pesawat CN 235 menular kepada perilaku para jurnalis yang berada di lapangan. Ada seorang wartawan yang suka menulis soal penerbangan memaki-maki pesawat itu sewaktu tengah kencing di toilet yang ada di pabrik PT Nurtanio Bandung. Celakanya, ketika asyik memaki dia tak sadar bila di dekatnya ada sosok BJ Habibie yang juga di toilet yang sama. Jurnalis itu jelas wajahnya berubah merah padam ketika tahu siapa yang ada di dekatnya dan BJ Habibie pasti mendengar ocehannya.
Jurnalis itu lalu minta maaf. Lagi-lagi BJ Habibie memaafkannya. Dia santai saja meski baru saja dirinya dan pesawat hasil rancang bangunnya dibuli habis-habisan.
Nah, bila membaca berita hari ini yang memberikan puja-puji kepada pesawat CN 235, jelas merupakan sebuah kenyataan pahit sekali dan hanya bikin sakit perut. Ini membuktikan betapa rendahnya mental bangsa ini. Dan juga menjadi peringatan kepada generasi milenial bahwa sejarah pers Indonesia juga tak ideal-ideal amat.
Pesan saya jangan terlalu percaya begitu saja sama omongan yang beredar di publik, misalnya di media daring dan media sosial Apalagi bagi mereka yang tengah punya kepentingan politik. Semua bisa jadi, pada suatu waktu menjadi kenyataan yang sampah alias 'mbelgedes' atau 'gombal mukiyo'.
Dalam soal ini mari contoh rakyat Korea Selatan. Mereka menjadi besar karena begitu mencintai barang yang diproduksinya. Dulu mobil dan hand phone Samsung apa laku? Lihat kini merajai pasar dunia karena dukungan solid dari rakyatnya.
Jangan lagi mengulang tragedi 'buli' pesawat CN 235. Ingat ini ya generasi milenial.