Chairil Anwar, Deborrah Kerr, Ridwan Saidi: Selamat Pagi Air Mata?

Budaya  
Deborrah Kerr
Deborrah Kerr

Bonjour Tristesse judul methapore untuk film yang mengisahkan kehidupan mewah seoramg playboy berumur yang diperankan David Niven. Film Columbia Picture melibatkan artis-artis yang cantiknya tak kira-kira: Deborrah Kerr, Jean Seberg, dan Mylene Demongeot. Film produksi 1958 ini mengisahkan kehidupan sehari yang mewah seorang playboy dengan cewe tetapnya yang diperankan Deborah Kerr, dan dua cewe fakultatip yang diperankan Jean Seberg dan Mylene Demongeot.

Saya menonton Bonjour Tristesse di Astoria Jl Pintu Air, bioskop bersejarah yang dibuat dasa warsa akhir 1930-an oleh Biro Arsitek Ir Soekarno. Kontur tanahnya di sana turun naik, dan areal sempit. Di belakang bangunan pun ada pula rel KA. Tapi nonton di Astoria nyaman saja. Memang Ir Soekarno sebagai arsitek amat haibat.

Saya dengan tenang dapat mengikuti film cerita tentang cewe cemburuan pacaran dengan playboy tua yang sering dikunjungi wanita-wanita yang teman pacarnya sendiri. Kemewahan melatari mekanisme kehidupan kesehaharian yang tanpa arah. Pola kehidupan yang tidak menghidupkan memang berujung pada air mata. What's life will gonna be then?

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Beyond the cinema's screen air mata sudah mengalir sampai jauh akhirnya mencapai untaian kalimat dalam sajak Chairil Anwar:

Hidup hanya menunda kekalahan.

Semakin jauh dari cinta Sekolah Rendah.

(Chairil putus asa? Sepertinya Chairil masih melihat ruang, itu ternyata hanya dalam frasa):

Tahu apa yang mesti diucapkan

Sebelum pada akhirnya kita menyerah.

Ya itulah sajak dan kebimbagan hati seorang Chairil Anwar.

Chairil Anwar
Chairil Anwar

Pola edar matahari yang elipse kadang-kadang dekat kadang-kadang jauh dari titik kordinat bumi. Garis bentang sekarang bumi dengan matahari bertambah 0,66%, kata pakar global belum seminggu lalu. Udara makin dingin, hujan tetap tercurah walau Cap Go Meh berlalu. Agro industry terganggu, genangan air realita harian. Transportasi darat banyak gangguan.

Hidup yang susah bertambah parah. Jikalau hidup yang sulit makin tulalit, ketidak seimbangan geometrikal mencari keseimbangan baru. Tentu ada cost, tidak gratis.

Biarlah air mata menjadi mata air!

*** Penulis: Ridwan Saidi, Politisi Senior, Sejarawan, dan Budayawan Betawi.

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image