Memahami Naluri Semangat Warga Wadas Purworejo Dalam Memperjuangkan Keadilan
Jangan sepelekan ruh semangat warga Wadas di Purworejo yang kemarin bentrok dengan polisi itu. Mereka sebagian besar merupakan kaum santri. Leluhurnya pasti terkait dengan pengalaman perang gerilya Diponegoro yang masif dan membangkrutkan pemerintah kolonial Belanda itu.
Kalau memahami sejarah, Purworejo adalah wilayah perang Jawa itu. Di sana hingga seluruh wilayah sekujur Selatan Jawa kala perang itu, di setiap pojoknya penuh berdiri benteng pasukan Belanda yang menerapkan strategi menjepit perlawanan Diponegoro melalui taktik benteng stelsel. Pusat kendali dari benteng pasukan yang mobile (temboknya terbuat dari batang pohon kelapa yang banyak tumbuh di sana sehingga bisa dongkar pasang) tersebut adalah berada di Gombong. Di kota itu ada benteng Belanda yang masiih berdiri hingga saat ini: Benteng Vander Wijk. Di sana juga ada pusat latihan tentara yang sudah ada sejak zaman Belanda.Salah satu alumni dari pelatihan tentara di Gombong itu yang legendaris adalah mendiang Presiden Soeharto.
Maka itulah dapat dipastikan bila orang-orang yang berada di wilayah Wadas dan sekitarnya yang santri pasti terkena imbas semangat keprajuritan yang diturunkan tanpa sadar dari nenek moyangnya. Ini karena pusat gerilya perlawanan dalam perang Jawa itu memang di antaranya terletak di kawasan Purworejo yang di masa lalu disebut dengan Kedung Kebo.
Jadi, bila mereka kini berani bersikap kritis dengan melakukan perlawanan atas perlakuan kepada dirinya yang tak adil, bukanlah barang baru. Bukan hadir begitu saja. Semangat itu sudah ada dalam darah dan situasi sosial masyarakatnya sejak dahulu kala. Ingat di wilayah selatan Jawa itu bertebaran makam-makam para tentara Diponegoro yang terserak-serak di pekuburan rakyat. Nama-nama perang, seperti Udajaya, Jayanegara, Prawiro, Kartayudha, menjadi sebuah hal lazim. Mereka berdampingan dengan makam para penyebar agama Islam di sana. Dan di Purworejo di masa lalu itulah berdiri pasukan belanda yang berasal dari legiun orang Afrika.
Keliatan sikap dan keberanian masyarakat di selatan Jawa tengah itulah yang terjejak hingga masa kini dengan munculnya begitu banyak tokoh pendiri tentara Indonesia. Sebut saja, sosok Panglima Besar Jendral Sudirman, Urip Sumohardjo, Ahmad Yani, Sarbini, Sarwo Edi, Soeharto, Rusmin Nuryadin, Soemitro Djoyohadikusumo, dan lainnya. Begitu juga banyak cendekiawan, jendral dan tentara masa kini yang berasal dari sana.
Keberanian itulah yang sangat terasa lestari sampai sekarang. Profesi menjadi tentara tetap menjadi impian warganya. Tanpa sadar setiap kali melihat sosok orang berseragam tentara masyarakat di sana terkagum-kagum. Mereka sangat menghargainya, meski tahu bila hidup jadi tentara tak bisa kaya raya. Tapi mereka bangga kepada mereka.
Kebanggan menjadi tentara di Purworejo dan wilayah selatan Jawa Tengah ini pun terjejak hingga Aceh. Bila melihat pemakaman prajurit Belanda di Banda Aceh, Kerkoff Peucut, bertebaran nama Jawa yang berasal dari Purworejo. Pemakaman ini terletak di belakang Museum Tsunami, Banda Aceh.
Mengapa orang Purworejo atau selayan Jawa Tengah bisa sampai dimakamkan di Kerkoff Peucut? Lagi lagi, jawabnya karena mereka tentara, yakni anggota pasukan khusus Kerajaan Mangkunegara di Solo. Mereka adalah anggota leguin elit, yang disebut Leguin Mangkunegaraan. Kala itu leguin ini ditugaskan raja Mangkunegara ke sana dalam rangka membantu Belanda dalam menghadapi perlawanan rakyat Aceh.
Melihat modal sikap itu, sekali lagi, jangan anggap enteng keberanian orang Wadas di Purworejo. Tak hanya di sana saja, sudah berkali-kali terjadi konflik yang sama di wilayah lain --yang juga soal tanah-- di daerah sekitar itu. Misalnya, di pinggir pantai selatan taknii di wilayah perbatasanPurworejo dengan Kebumen, berulangkali terjadi konflik tanah antara rakyat yang tinggal di pesisir itu dengan aparat. Mereka bersitegang mengenai lahan yang dijadikan tempat latihan militer. Bentrok itu pun tak kalah seru dengan yang terjadi di Wadas kali ini.
Maka harapannya, selesaikanlah soal Wadas ini dengan kepala dingin. Ingat orang-orang yang tinggal di wilayah selatan Jawa Tengah itu sampai kini masih memegang teguh nasihat lluhur: Sedumuk bathuk, senyari bumi, digowo mati. (Meski hanya selebar dahi dan selebar jari, kalau sudah soal tanah (bumi) akan dibela sampai mati).
Selain itu, janganlah rakyat di sana dibuat menjadi bermata gelap dengan membuatnya 'ngamuk'. Di sana masih ada falsafah lain yang dipegang: "Ngalah, Ngalih, Ngamuk" (Mengalah, Berpindah, dan Ngamuk). Artinya rakyat Jawa memang pertamanya mau mengalah atau terima saja bila dianiaya. Mereka kemudian hanya berpidah untuk menghindari konflik dan menjaga harmoni. Tapi ketika sudah mengalah dan berpindah masih tetap dianiaya mereka akan mata gelap, alias melakukan amuk sampai mati.
Uniknya frasa amuk inilah yang kemudian terekpresi dalam antologi puisi 'O Amuk Kapal' karya Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri. Ingat tanpa disadari dia adalah keturunan Purworejo. Nama Sutadrji itulah sebagai jejak asal usulnya.''Ya saya memang juga keturunan Jawa dari Purworejo,'' kata abang Sutardji pada suatu ketika sembari terkekeh-kekeh.
Maka bila menyadari dan memahami semua soal itu jelalalah semua pihak, terutama aparat negara, harus berfikir dan bertindak dengan kepala dingin. Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo yang juga orang Purworejo pasti mahfum. Jangan sampai bara yang masih setitik kemudian berubah menjadi api berkobar yang menghanguskan semuanya!