Purworejo dan Jejak Misionaris Kristen Pertama Jawa, Kiai Sadrach

Sejarah  
Kiai Sadrch dan para pengikutnya di pendopo rumahnya di Purworejo Selatan.
Kiai Sadrch dan para pengikutnya di pendopo rumahnya di Purworejo Selatan.

Hari-hari terakhir ini kota kecil di selatan Jawa Tengah, Purworejo menjadi sorotan. Wilayah di area yang zaman kolonial Belanda masuk dalam area Karisidenan Kedu dan bernama ‘Kedung Kebo’ ini menjadi perhatian. Apalagi kini Purworejo menjadi semakin strategis karena letaknya sangat dekat Bandara Yogyakarta yang baru. Bayangkan bandara itu sangat menempel dengan wilayah Purworejo karena hanya terpisah dari Sungai Bogowonto yang menjadi batas alami antara wilayah Kulon Progo. Kalau ke Keraton dan Mailoboro di pusat kota Yogyakarya, jaraknya dari bandara baru itu sangat jauh bila dibandinngkan dengan jarak ke pusat kota tersebut.

Namun harap diketahui meski kota ini mungil tersuruk di pinggar pantai selatan Jawa, Purworejo punya hal yang sangat menarik. Di daerah inilah hingga daerah Banyumas yakni hingga Sungai Serayu, merupakan daerah gerilya Pangeran Diponegoro. Para pengikutnya tersebar di sini sangat banyak. Kini mereka meninggalkan anak keturunan mereka yang tersebebar di sekujur wilayah selatan Jawa Tengah itu, termasuk Purworejo.

Namun, di samping terimbas perang Jawa pada tahun 1825-1830, Purworejo mempunyai sejarah yang sangat penting bangi penyebaran agama Kristen di Jawa. Di sinilah ada sosok penginjil pertama di Jawa yang bernama Kiai Sadrach, untuk pertama kalinya mampu membaptis orang Jawa secara massal. Berkat dialah agama Kristen mulai tersebar secara masif. Sebab, pada waktu sebelum kiprah dia menyebarkan Injil hanya beberapa gelinir orang Jawa yang menjadi pemeluk kristen. Bahkan, dapat dikatakan bisa dihitung dengan jari.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Bukan hanya itu, sosok Kiai Sadrach bisa dikataan membuat perubahan besar dalan lanskap politik kekuasaan serta hubungan sosial keagamaan di Jawa. Sebelum kehadiran Sadrah yang hanya beberapa dekade dari berkahirnya perang Jawa, kerajaan di Jawa , yakni Kesultaan Maram Islam, benar-benar mandiri. Para kerajaan ini pun secara terbuka menyatakan diri sebagai kerajaan Islam.

Bahkan secara nyata para Sultan di Jawa (misalnya Kerajaan Mataram di Jogja dan Surakarta) menyebut dirinya sebagai pelindung umat dan penjaga ajaran Islam. Dan pada saat itu pihak kolonial yang tahu posisi dirinya masih lemah, tidak mau menfasilitasi penyebaran agama Kristen karena menganggap: hanya akan meletupkan perang dan kebencian saja kepada orang Belanda saja.

Maka jangan heran sebelum kurun 1830, atau sebelum Pangeran Diponegoro mengalami kekalahan, tak ada gereja berdiri di tanah atau silayah kerajaan di Jawa. Di Kasultanan Yogkakarta misalnya wilayah kerajaan malah ditandai dengan berdirinya ‘Masjid Pathok Nagari’, yang artinya masjid menjadi batas wilayah dan kekuatan spiritual kerajaan itu sebagai sebuah Kasultanan (Kerajaan Islam).

Tapi seiring kekalahan Diponegoro, dan mulai berjalannnya proyek ‘pemiskinan serta penghisapan’ massal rakyat Jawa melalui Tanam Paksa, terjadi perubahan sikap pemerintah Belanda selaku pemenang perang, terhadap penyebaran agama Kristen. Bila sebelumya pemerintah kolonial Belanda tidak ikut campur atau tidak mendorong penyebaran agama Kristen ini, mulai saat itu pemerintah kolonial Belanda mempersilahkan atau bahkan mendukungnya penyebaran agama ini.

Perubahan kebijakan ini tampaknya terjadi ketika Pemerintah Kolonial mulai merasa dirinya ‘mampu menguasi keadaan’ karena perlawanan kaum santri atau Muslim di Jawa sudah berhasil dipatahkan. Maka tidak mengheranakan, secara perlahan daerah kerajaan (vorstenlanden) di Jawa yang tadinya hanya boleh didirikan masjid, mulai saat itu satu persatua mulai munculah bangunan gereja.

Uniknya, meski pendirian gereja mulai merebak, namun saat itu penyebaran agama Kristen belum banyak bisa menarik orang Jawa. Namun situasinya mulai berubah ketika kehidupan rakyat Jawa semakin miskin dan seolah tak bisa keluar dari penderitaan yang diakibatkan oleh proyek Tanam Paksa yang digagas Van den Bosch itu. Apalagi akibat tanam paksa tercatat sangat memkan korban hingga menwaskan lebih ¼ penduduk yang tinggal di Jawa.

Sebagai akibatnya, karena merasa tersia-sia dn terpinggirkan, orang Jawa pun tak tertarik dengan ide kepercayaan orang kulit putih Eropa yang nota bene sebangsa dengan penjajahnya. Imbasnya dapat mudah ditebak, misi yang dilakukan oleh para penyebar ajaran Kristen yang dilakukan oleh orang Eropa tersebut, bisa dikatakan gagal total. Pribumi Jawa yang masuk Kristen hanya beberapa orang saja!

Buku tentang Kiai Sadrach
Buku tentang Kiai Sadrach

Kiai Sadrach mendobrak kebuntuan misonaris Eropa

Situasi kebuntuan kerja para misionaris Eropa tersebut mulai berubah dengan hadirnya penyebar agama Kristen asal Jawa yang tinggal di Karangjasa, Purworejo, Kiai Sadrach, lengkapnya Radin Abas Sadrach Surapranata (lahir tahun di Demak 1835 – meninggal di Purworejo 1924).

Meski sempat dianggap melakukan sinkritisme terhadap ajaran Kristen dengan budaya Jawa, penginjil pribumi hasil dididikan penginjil asing Hoezoo ini sukses menyebarkan agama Kristen di kalangan penduduk Jawa. Ajaran Kristen dibawanya ‘lebih kepinggir’ mendekati adat lokal dan orang-orang kecil yang miskin seperti petani, penjual dagangan di pasar, kuli, hingga pembantu rumah tangga.

Karya Sadrach ini terlihat dengan mulai tumbuhnya berbagai gereja di selatan Jawa. Para murid atau penyebar Kristen yang merupakan hasil didikannya berkelana ke seantereo Jawa, terutama di sekitar daerah itu, dengan membentuk berbagai komunitas ‘Kristen Jawa’. Cara dakwah mereka dilakukan dengan setiap sore misalnya mereka mengumpulkan para petani, pemetik gula aren, dan para ‘kuli kendo’ yang ada di desa-desa untuk belajar membaca injil atau mendengar kisah-kisah ‘orang suci’ yang ada dalam Bible yang disebut dengan ‘Babad Rasul’. Sadrach dan para muridnya itu juga berinisiatif mengganti istilah-istilah Kristen Eropa dengan istilah lokal berbahasa Jawa. Gereja yang mereka dirikan kerap disebut sebagai ‘Gereka Kerasulan Baru’ (entah sekarang kalau nama ini sudah diganti, red).

Gereja Kiai Sadrach di wilayah Purworejo bagian selatan. Geraka ini tak jauh dari jalur 'selatan-seletan' Jawa Tengah.
Gereja Kiai Sadrach di wilayah Purworejo bagian selatan. Geraka ini tak jauh dari jalur 'selatan-seletan' Jawa Tengah.

Geliat penyebaran agama Kristen dan pertumbuhan gereja di Jawa makin semarak karena mereka didukung oleh kelonggaran atau bahkan fasilitas politik. Bersamaan dengan itu, yakni berakhirnya ‘Perang Jawa,’ itu kemudian muncul kebijakan dari pemerintah Belanda agar para bangsawan kerajaan dipisahkan kesehariannya dari kehidupan kaum pesantren. Tujuannya untuk memutus sekaigus mencegah aksi perlawanan kaum bangsawan kepada penguasa kolonial. Ini karena pesantren bagi pemerintah Belanda disebut sebagai basis perlawanan terhadapnya. Sejak itulah mulai muncul tuduhan bila kaum Muslim itu radikal dan ekstrimis yang harus dicurigai serta diawasi.

Bila dulu para bangsawan kawin-mawin dengan putra-putri kiai di pesantren, maka seiring berakhirnya perang Jawa yang kemudian memunculkan sosok semacam Kyai Sadrach, maka pada saat itulah para bangsawan Kraton Mataram tak diperbolehkan, bahkan menjadi hal terlarang berhubungan dengan kaum santri di pesantren. Pihak kolonial Belanda secara halus mendorong agar para bangsawan melakukan perkawinan antar sesama bangsawan saja. Situasi ini berbeda dengan era sebelum pecahnya ‘Perang Jawa’ di mana antara kaum bangsawan atau putra raja selalu terkait hubungan perkawinan dengan keluarga pengasuh pesantren. Contohnya ini terjadi pada sosok Pangeran Diponegoro dan sultan Maram sebekumnya, seperti Hamengku Buwoni I yang malah disebut punya darah Arab (syarif).

Sementara itu, di kalangan orang biasa, setelah mendapat pendidikan yang diberikan para penyebar injil itu, maka anak keturunan para penganut Kristiani ini kemudian mendapat fasilitas pendidikan dan pekerjaan yang lebih bagus. Mereka mengeyam pendidikan umum yang didirkan para penyebar agama itu, dengan sekolah yang dikenal sebagai ‘Sekolah Masehi’ atau sekolah lain sejenisnya.

Dan ketika lulus mereka kemudian menjadi ‘priyayi baru’ karena menjadi pegawai pemerintah misalnya menjadi guru dan tenaga kesehatan. Sebuah survei pada tahun 1920-anmenyatakan: Bila ada tiga orang Kristen berkumpul, maka dua orang di antara mereka mendapat fasilitas pemerintah. Ini berbeda dengan kehidupan kaum santri (Muslim) yang malah sama sekali tidak mendapat fasilitas dari pemerintah karena menerapkan sikap politik ‘uzlah’ atau nonkooeratif dengan pemerintah kolonial.

Adanya kelonggaran politik itulah, maka tidak mengherankan bila di berbagai kampung mulai muncul penganut agama Kristen. Pendirian gereja menjadi mencolok. Di sebuah kampung di pesisir selatan Kebumen misalnya, pendirian sebuah gereja malah jamak mendului pendirian masjid. Bahkan, selang waktu pendirian antara gereja dan masjid itu bisa sampai 30 tahun meski kampung itu mayoritas penduduknya Muslim.

Kelonggaran politik ini misalnya masih teraba hingga masa Orde Baru. Misalnya, di kampung-kampung yang ada di kawasan itu hingga awal 1980-an masih terpampang papan petunjuk resmi ‘Guru Injil’ untuk menyebutkan bahwa di rumah tertentu di sekitar itu ada sesorang yang menjadi pengajar agama Kristen. Selain itu para ‘guru injil’ bule juga kerap bersliweran. Situasi ini baru berakhir setelah penguasa Orde Baru, Suharto, memutuskan bantuan IGGI setelah marah akibat perilaku yang melecehkan rakyat yang dilakukan Menteri Kerja Sama Pembangunan Belanda J.P. Pronk.

Alhasil, belajar dari pengalaman pendirian rumah ibadah di Jawa, maka pendirian gereja dan masjid memang ternyata selalau terkait dengan soal-soal kekuasaan atau politik. Di ibu Yogyakarta misalnya pendirian ‘masjid baru’ yang representatif muncul setelah datangnya era kemerdekaan, yakni dengan berdirinya Masjid Syuhada di bilangan wilayah Kota Baru dan pinggir Kali Code itu. Masjid ini didirikan untuk mengenang perjuangan rakyat pada peristiwa 10 November 1945 di Surabaya.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image