Bertemu Jejak Mendiang Soeharto di Tengah Pusat Kota Sarajevo
Bagi publik Indonesia Bosnia memang letaknya sangat jauh. Dia ada di belahan wilayah Benua Eropa paling selatan. Berbatasan dekat Turki tapi tak terlalu jauh dari Jerman. Negara ini adalah pecahan negara Yugoslavia.
Meski penduduknya berbudaya ala 'bule' Eropa, warga Bosnia adalah kebanyakan Muslim. Negara ini sangat terpengaruh spirit Kekhalifahan Turki Ustamani (Otoman). Masjid dan budaya Turki terasa kental di sana. Negara ini beribu kota di Sarajevo, kota indah dan mantan kota penyelenggara Olimpiade musim dingin tahun 1984.
Terkhusus bagi Indonesia sebenarnya pun punya kenangan serta emosi di sana. Hal itu terjadi ketika di negara itu pecah kecamuk perang yang disertai pembantaian (genosida) di wilayah Balkan itu. Hingga kini kunjungan Presiden Soeharto ke Sarajevo pada awal 1990-an, ketika kota itu dikepung Serbia menjadi kenangan pengikatnya dan lestari sampai sekarang.
Kisahnya begini, kala itu Presiden Soeharto nekad pergi ke negara itu yang tengah diamuk perang pembantaian yang dahsyat. Kunjungan ini makin terasa nekad, sebab dua hari sebelumnya pesawat terbang utusan khusus PBB asal Jepang ditembak jatuh. Nmaun Soeharto tetap datang ke ibu kota Bosnia, Sarajevo.
Komandan Paspampres kala itu, Sjafri Samsoedin, menjadi saksi ganasnya perang itu, sekaligus keberanian Soeharto berangkat ke medan perang. Ketika hendak mendarat di bandara Sarajevo yang diapit dua dua buah bukit, Sjafrie melihat senjata 12,7 mm yang biasa digunakan untuk menembak jatuh pesawat terbang terus bergerak mengikuti pesawat yang ditumpangi rombongan presiden Soeharto.
Untungnya, selama kunjungan itu sejata anti pesawat terbang ini tak digunakan. Alhasil, kunjungan Soeharto di Sarajevo selama enam jam itu sukses."Mirip peristiwa enam jam di Jogja Pak,'' kata Sjafri kala itu ketika diajak berbincang Presiden Sohearto mengenai suasana kunjungan tersebut.
Memang saat konflik itu, lapangan terbang Srajevo dikuasai dua pihak. Pihak Serbia menguasai landasan dari ujung ke ujung, sementara kiri-kanan landasan dikuasai Bosnia.
"Pak Harto turun dari pesawat dan berjalan dengan tenang. Melihat Pak Harto begitu tenang, moral dan kepercayaan diri kami sebagai pengawalnya pun ikut kuat, tenang dan mantap. Presiden saja berani, mengapa kami harus gelisah," beber Sjafrie lagi seperti kutip dalam berbagai kisah mengenai pendaratan Pak Harto di Bosnia dan Balkan semasa perang.
Setelah kunjungan dan sesudah terjadi perdamaian, Presiden Soeharto berinisiatif mendirikan sebuah masjid di Sarajevo. Maka kemudian ditunjuklah arsitek kondang asal Bandung, Ahmad Nu'man. Lewat rancangan dia kemudian mewujud sebuah masjid dengan dua menara yang ada di depannya. Masjid ini berdiri megah di tengah kota Sarajevo dan berada di sebuah lapangan yang luas. Masjid ini diberi nama 'Masjid Istiqlal', namun warga di sana banyak juga yang menyebutnya sebagai masjid Soeharto.
Maka bila anda ke Bosnia dan mampir ke Sarajevo singgahlah ke masjid tersebut. Isi masjid ini ada sumbangan mimbar dan berbagai ukiran dari kayu jati asal Jepara dari Presiden BJ Habibie. Dan prasati pendirian masjid di sana tertulis nama Presiden Megawati Soekarnoputri.
''Bagi orang Bosnia lazimnya masjid di sana hanya punya satu buah menara saja. Tapi oleh Pak Ahmad Nu'man kelaziman ini diubah. Menari masjid itu dibuat dua buah sebagai lambang kokohnya hubungan dua negara: Bosnia dan Indonesia,'' kata Edin Hidalick, warga Bosnia yang kini tinggal dan mengubah status menjadi warga negara Indonesia.