Metaverse Melihat Ka'bah dari Jawa Sudah Ada Semenjak Zaman Kesultanan Demak
Belakangan ini, dunia maya geger soal rencana Arab Saudi yang memperbolehkan mengunjungi Masjidil Haram dengan cara melihat melalui realitas virtual bersama yang dibuat semirip mungkin dengan dunia nyata dalam dunia internet. Kehebohan ini merembet ke mana, hingga soal kemungkinan pergi haji dan umrah ke tanah suci melalui cara ini.
Alih-alih senang mendengar kabar itu, umat Islam malah bingung dan terkesan gagap teknologi. Pergi haji ada yang berani anggap bukan lagi ibadah mahdoh yang terikat waktu dan tempat, tapi menjadi sarana layaknya pergi berselancar serta pesiar di lautan maya yang bisa bolak-balik ke semua tempat dengan seketika.
Tapi bila istilah multiverse dikenal baru dikenal di zaman ini, sebutan yang mirip ini di zaman lalu di Jawa, yakni di masa awal penyebaran Islam pun sudah di kenal. Dalam kisah pendirian Masjid Demak oleh para wali kala itu melihat Ka'bah dari kota itu sudah dilakukan. Dalam babad tanah Jawa disebutkan kala terjadi kebingungan menentukan arah kiblat' masjid itu, Sunan Kalijogo dengan santai saja membuat sebuah lobang kecil di dinding mihrab calon masjid. Ajaib, konon dari lubang setelah diintip maka tampaklah sosok Makkah yang ada nun jauh sana di Makkah.
Kisah dari mitos ini semakin lengkap kala kemudian diceritakan bila Raden Mas Sahid (Sunan Kalijaga muda,red) itulah yang bisa melakukannya. Dia menujukan 'karomahnya' bisa memperlihatkan sosok Ka'bah secara langsung dari tengah lokasi masjid Demak yang hendak didirikan. Dan ini dilakukannya pada saat itu, yakni ketika banyak orang tengah melakukan sidang menentukan arah kiblat Masjid Demak.
Konon sidang tersebut dipimpin wali senior, Sunan Giri. Waktu sidang pun telah cukup lama berjalan namun tak kunjung temui kata putus. Terjadi perpedaan pendapat dalam sidang penentuan arah kiblat. Sidang yang dipimpin semenjak pagi hari oleh pendiri kerajaan Giri Kedaton itu tetap saja belum bisa memutuskan poisi arah kiblat yang dianggap sah oleh pesarta sidang hingga menjelang shalat Jumat.
Kemudian Sunan Kalijaga yang berada di tengah-tengah peserta sidang yang sedang berdebat meminta waktu untuk menyela perdebatan. Sembari berdiri, tangan kiri Pangeran Tuban ini memegang Masjid Demak dan tangan kanannya memang menara Masjidil Haram di Mekkah.
Ajaib, dengan mengacu pada Babad Tanah Jawa, tiba-tiba kedua tempat itu disatukan. (Dalam versi kisah yang lain, Sunan Kalijaga hanya membuat lobang untuk mengintip Ka'bah). Bahkan, ketika para hadirin termasuk Sunan Giri mengintip ke lobang itu tampak di sana gambar Ka'bah di Makkah secara jelas. Maka sat itu saja langsung saja arah pengukuran arah kiblat Masjid Agung Demak ditentukan dan diperlihatkan kepada hadirin.
Kalau dilihat secara nalar kisah ini kan mirip dengan metode melihat jarak jauh Ka'bah melalui metode metaverse. Dasar 'Babad Jawa' yang penuh dengan lambang dan mitos, kisah yang sebenarnya sangat rasional ini dibuat berbau mistis serta penuh keajaiban layaknya dongengan.
Padahal waktu itu, pengukuran arah kibat sudah ditemukan dan sangat akrab oleh umat Islam di Demak. Ini terjadi sebab saat itu Demak sudah banyak sekali kedatangan para saudagar dari tanah Arabia. Mereka datang ke Jawa pasti karena menguasai dunia navigas pelayarani. Apalagi mereka pun sudah sangat lama menemukan alat penunjuk arah, yakni kompas. Mereka terbiasa menghitung letak Ka'bah dari Demak dengan memakai teknik melihat letak matahari melalui sebuah dinding yang dilobangi atau mencermati arah bayangan sebuah benda. Arah bayangan dengan hitungan sudut tertentu itulah yang sebenarnya menentukan arah Ka'bah berada.
Pengetahuan melihat posisi Ka'bah dari jarak sangat jauh sudah dikuasai umat Islam jauh sebelum beridirnya masjid Demak. Pada zaman kejayaan Islam di Maroko metode ini telah lebih dahulu digunakan untuk menentukan arah kiblat bagi tiap-tiap masjid yang dibangun. Namun pengetahuan ini di Jawa yakni di buku Babad Tanah Jawa yang merupakan karya pujangga-pujangga Kraton Mataram, dimistiskan.
Hasilnya, berkat dibumbui aneka kisah keajabain maka mengubah buku ini dari sebuah tulisan yang seharusnya penuh logika rasional berubah sebagai sebuah mitos. Akibatnya, mitos yang terus menerus dibuat, kemudian membuat catatan peristiwa bersejarah itu secara berlebihan. Celakanya, ini dilakukan sepanjang kurun zaman sampai akhirnya figur dalam sejarah tersebut memperoleh status setara dewa.
Maka. kalau kembali ke akar rasional, orang Jawa sebenanrya tak usah terlalu kagum pada metaverse dalam polemik mengunjung Masjidil Haram. Dari dahulu mereka sudah bisa melakukannya, meski dalam peralatan sederhana. Seperti apa? Lihat saja, pada masjid kuno di Jawa yang masih tersisa, pasti ada tugu yang berisi gambaran peta lintasan matahari. Tugu ini masih ada hingga kemudian banyak tergusur ketika ada pembangunan masjid yang katanya di masa kini disebut 'masjid moderen'. Ini menyedihkan, sebab membangun moderenitas malah menghilangkan jejak dan artefak khazanah rasionalitas umat Islam.
Mungkinkah generasi milineal masih bisa melihat jejak tugu itu lagi?