Belanda Penjajah Paling Kejam dalam Perang Dekolonisasi
Bart Funnekotter, dalam tulisan De bamboespeer, de ondervraging met de hamer en de rechter die niets deed di situs javapost.nl, mengulas tentang kekejaman Belanda, Inggris, dan Prancis dalam perang dekolonisasi.
Ia menggunakan perbandingan yang dibuat Thijs Brocades Zaalberg dan Bart Luttikhuis, yang mengacu pada angka korban penjajah dan terjajah, untuk memperlihatkan betapa Belanda jauh lebih kejam.
Prancis terlibat perang dekolonisasi di Vietnam dan Aljazair. Inggris menghadapi situasi serupa di Kenya dan Malaysia. Sedangkan Belanda menghadapi rakyat Indonesia.
Tentau saja ada perbedaan politik sosial yang mendasar antara ketiga perang dekolonisasi itu, dengan intensitas pertempuran bervariasi. Bentrok militer Vietnam-Prancis dan Aljazair-Prancis jauh lebih besar.
Di Vitnam dan Aljazair, Prancis kehilangan 90 ribu dan 25 ribu serdadu. Sebaliknya, Vietnam dan Aljazair kehilangan 300 ribu dan 200 ribu rakyatnya.
Di Malaysia dan Kenya, angka kematian resmi adalah 6.711 dan 11.503. Tidak ada informasi berapa kematian di pihak Malaysia dan Kenya, dan berapa di pihak Inggris dalam konflik dekolonisasi di kedua negeri jajahan itu.
Di Indonesia, Belanda kehilangan 5.000 tentara antara 1945-1949 dan korban di pihak RI mencapai 100 ribu. Jika angka ini benar, maka selisih kehilangan penjajah dan terjajah di Indonesia jauh lebih besar.
Penyebab kekeraan ekstrem di tiga perang dekolonisasi itu relatif sama. Menurut peneliti, yang pertama adalah bersifat struktural. Lainnya adalah tradisi kolonial dan budaya kekerasan brutal, rasisme kolonial, dan sifat perang yang tidak teratur.
Terlalu Panjang
Kesimpulan KITLV, Institut for War, Studi Holocaust dan Genosida (NIOD) dan Institut Sejarah Militer Belanda — yang dipresentasikan Kamis 18 Februari lalu — menyebutkan daftar kejahaan yang dilakukan tentara Belanda dalam Revolusi Nasional Indonesia 1945-1949 seolah tidak ada habisnya.
Kekerasan itu beragam. Mulai dari tentara Belanda yang terprovokasi membunuh penduduk sipil, penyiksaan, pemerkosaan, pencurian, pembakaran, dan lainnya. Namun, tidak ada yang tercatat terlibat dalam kejahatan perang dan pelanggaran hak asasi.
Sebab, terminologi ‘kejahatan perang’ dan ‘pelanggaran hak asasi manusia’ tidak pernah menjadi perdebatan selama sekian tahun. Gert Oostindie (KITLV) , Ben Schoemaker (NIMH), dan Frank van Vree (NIOD) — dalam konferensi pers di Amsterdam — mengatakan dua terminologi itu telah dibahas selama empat tahun.
Pemerintah Belanda rupanya menghindari penggunaan dua kata itu, yang membuat peneliti akhirnya menggunakan terminologi ‘kekerasan ekstrem’. Alasan Belanda, meski tidak tersirat, adalah penggunaan istilah ‘kejahatan perang’ akan membuat keluarga korban melakukan tuntutan ganti rugi.
Belanda tidak ingin kasus Rawagede, kini bernama Desa Balongsari, terulang lagi. Desember 1947 tentara Belanda membunuh 431 pria dan anak laki-laki penduduk Rawagede. Penggunaan ‘kejahatan perang’ pada peristiwa ini membuat keluarga korban mengajukan tuntutan ganti rugi dan memenangkannya pada 2011.
Remy Limpach, sejarawan Belanda-Swiss, jug tidak menggunakan istilah ‘kejahatan perang’ dalam penelitiannya tentang Perang Dekolonisasi di Indonesia. Menurut Limpach, Belanda secara struktural menerapkan kekerasan ekstrem seperti biasa dilakukan di bekas jajahan Hindia Belanda.
Dari Eksesnota ke Fakta Memalukan
Kebrutalan tentara Belanda di Indonesia sebenarnya bukan isu baru. Setelah 1950-an, isu itu berkali-kali mengemuka di parlemen Belanda. Tahun 1969, psikolog Joop Hueting menjadi prajurit Belanda pertama yang berbicara di televisi tentang tindakan kejahatannya selama Perang Dekolonisasi di Hindia-Belanda.
Namun pada tahun yang sama Kabinet De Jong menyimpulkan tentang apa yang disebut Excessennota, bahwa angkatan bersenjata Belanda secara keseluruhan telah bertindak dengan benar, kecuali untuk ekses.
Kesimpulan ini seolah diterima semua pihak, sampai akhirnya Remy Limpach pada 2016 menggemparkan Den Haag dengan kesimpulan penelitian betapa Belanda secara struktural menerapkan kekerasan ekstrem di Hindia-Belanda.
Kini, lebih 60 tahun setelah kesimpulan Kabinet De Jong, PM Mark Rutte membuat sejarah dengan mengakui fakta memalukan tentang kekerasan ekstrem tentara Belanda di Indonesia, dan meminta maaf.
Menurut Frank Vermeulen, dalam Heel Nederland draagt schuld voor ‘beschamende feiten’ in Indonesië, apa yang dikemukakan PM Rutte bukan lagi pandangan pemerintah. Kabinet sepenuhnya mengadopsi kesimpulan keras tapi tak terhindarkan.
Artinya, PM Rutte menempatkan tanggung jawab atas ‘kekerasan ekstrem’ tidak pada individu prajurit, tetapi pemerintah Belanda, parlemen, angkatan bersenjata sebagai institusi, dan otoritas kehakiman. Rutte mengabaikan banyak kritikus yang khawatir akan dianggap sebagai penjahat perang menjelang presentasi.
Masih menurut Vermeulen, Rutte mengubah presentasi penelitian menjadi ritual pembersihan nasional. Caranya, dengan menyebut hasil penelitian sebagai fakta memalukan yang harus diakui, dan meminta maaf.
Kabinet pada akhirnya akan mengirim posisi definitif ke parlemen. Tentu saja akan terjadi perdebatan. Rutte tampaknya akan menggunakan asumsi bahwa tidak ada individu yang akan disalahkan atas fakta memalukan itu, tapi seluruh Belanda yang bertanggung jawab.
Pertanyaannya, apakah semua partai politik setuju dengan cara pandang PM Rutte? Kita lihat saja. Yang pasti, kekerasan ekstrem tentara Belanda di Indonesia antara 1945-1949 bukan lagi ekses nota tapi fakta memalukan.
**** Penulis: Teguh Setiawan, Jurnalis Senior