Teringat Sosok Gus Miftah, Dalang, Wayang di Sebuah Masjid Mungil di Yogyakarta

Agama  
Dalang memainkan wayang kulit dalam sebuah pementasan.
Dalang memainkan wayang kulit dalam sebuah pementasan.

Lega! Perasaan ini terasa begitu melihat tayangan Gus Miftah minta maaf bila ada yang tersinggung soal pernyataannya terkait polemik pelarangan wayang Ustaz Khalid Bassalamah. Apalagi setelah saya telepon ke sebuah masjid yang ada di bilangan Jln Taman Siswa Yogyakarta tempat dahlulu 'Miftah' ketika kuliah sempat jadi marbot masjid itu. Kebetulan masjid itu tempat kami berativitas dan kamar yang dahulu ditempati Miftah adalah juga bekas tempat tidur saya.

''Ya syukurlah, Miftah sampun sareh,'' kata Mbak Ufiek, putri pemangku masjid itu dalam pembicaraan melalui telepon Subuh kemarin. Dia kini jadi hakim pada sebuah pengadilan di Jawa Tengah.

Terus terang kami bangga melihat dan mendengar Mifta jadi orang top walau sempat kaget dia ternyata dahulu pernah jadi 'anak masjid' yang mungil itu. Kami memang tidak sempat kenal, karena kami sudah pergi dahulu dari masjid tujuh tahun sebelum Miftah datang. Harap diketahui dari masjid itu banyak anak top yang lahir, misalnya pengacara kondang yang kini wira-wiri nongol di televisi dalam kasus-kasus tertentu. Yang lainnya ada yang jadi rektor, bahkan kalau lebih senior jejak Menkopolkam Mahfud MD ada di sana.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Masjid itu, meski mungil memang berkesan. Tempat kami 'belajar bicara', organisasi, hingga melayani orang banyak. Dari masjid itu kami bisa menyaksikan proses spritulisasi orang Jawa, dari sosok yang disebut abangan menjadi santri. Proses ini yang tak terbayangkan bila kemudian ada yang masih percaya pada teori Trikotomi dari Clifford Gerts, bahwa pembagian santri, priyayi abangan itu abadi. Ternyata sanggahan atas teori itu dari almarhum Prof DR Harsya Bahtiar dahulu benar adanya. Santri, piryayi, dan abangan itu bukan pengelompokan agama Jawa, tapi cuma kedalaman penghayatan terhadap Islam.

Bapak kost saya di samping masjid itu adalah sorang dalang senior. Kami memanggilnya 'eyang' Sabdo. Kami kenal dengan baik putra-putri. Hubungan sangat terjalin baik. Eyang Sabdo punya saudara seorang 'kaum' (kepala urusan agama kampung) yang tinggal bersebelahan dan menempati satu pekarangan dengannya.

Lalu apakah ada ketegangan antara eyang sabdo yang seorang dalang dan wayang dengan masjid yang berada di sampingnya? Jawabnya tak ada sama sekali. Masing-masing pihak santai-santai saja. Tak ada yang ganggu. Malah di waktu senja hidupnya, eyang sabdo begitu rajin dan khusuk shalat di masjid kami. Setiap adzan tiba dia pasti sudah berada di masjid untuk sholat berjamaah.

Tak hanya Eyang Sabdo, di dekat rumah kami itu ada seniman kondang dan pencipta wayang gaya baru, 'wayang ukur'. Senimannya bernama Ki Kasman. Meski rumahnya juga sederhana dengan penuh rimbun pohon sawo, berbagai orang elit Indonesia saat itu datang ke kediamannya untuk melihat wayang ukur dan sekaligus melihat pementasaanya. Sosok yang paling diingat karena berkali-kali datang adalah Menteri Penerangan Harmoko yang selalu datang dengan naik mobil Mercy warna hitam. Kalau setiap datang yang itu dilakukan pada sore hari, pasti ada pementasan wayang Ukur. Kami nonton bersama anak kampung lain bersama Pak Harmoko.

Ki Kasman dan hasil kreasai wayang ukur-nya bukan kreasai yang sembarangan. Bentuk baru wayang diubahnya. Cerita baru dengan memainkan banyak dalang dalam satu pakeliran sekaligus di tengah pementasan ada penari secala 'live', diuji coba. Ki Kasman melakukannya berbekal stuadi sangat intens dengan mempelajari seluk beluk wayang sampai berpuluh tahun tinggal di Belanda dan Amerika. Saya yang sering main ke rumahnya selalu terkagum-kagum melihat petualangan dia yang terlihat dalam berbagai foto dalam albumnya. Yang paling terkesan adalah adanya foto Ki Kasman muda bersama gitaris jazz Ireng Maulana di Amerika. Pada sebuah foto ada pose Ireng Maulana muda tampak duduk santai sambil memainkan gitar di sebuah taman.

Nah, selama kurun itu, antara dalang dan pementasan wayang tak pernah ada masalah. Masing-masing tahu diri dan berusaha membuka perasaan masing-masing. Keduanya saling bekerja sama. Misalnya, anak masjid tetap datang bila diundang untuk tahlilan. Padahal semua tahu pengampu masjid bukan warga Nahdliyin, tapi beliau biasa dan santai saja untuk memimpin tahlilan. Harap diketahui, meski orang Jogya kebanyakan Muhamammadiyah, tapi mereka tetap biasa tahlilan. Sama sekali tak masalah. Tak ada yang tegang dan melotot, seperti bayangan di media sosial masa kini yang penuh caci maki dan pembelahan kadrun dan cebong!

Bagi orang Jawa, mengacu peneltian terbaru antropolog Australia tentang sosok orang suci di Jawa, idola mereka adalah para wali. Dan yang paling mereka idolakan adalah Sunan Kalijogo. Di masa muda semua tahu Sunan Kalijogo adalah berandalan dan nakal, bahkan perampok. Tapi di masa tua dia adalah seorang ulama yang sangat dihormati.

Jalan hidup Sunan Kalijogo itulah yang banyak menjadi acuan orang Jawa. Mungkin di masa muda ia 'belum Islam' (dereng Islam), tapi makin bertambah usianya dia akan semakin taat dan berubah menjadi 'sampun Islam (sudah Islam) dengan menjadi seorang santri atau bahkan ulama. Contoh yang paling nyata adalah sosok mantan Presiden Soeharto. Mungkin di masa mudanya dia 'dereng Islam' atau menganggap bila dirinya penganut 'Islam hakekat', bukan 'Islam syariat'. Ini artinya di masa muda penhayayatan Islamnya masih minimalis hanya sedekar syahadat belaka, belum shalat atau mengerjakan rukun Islam yang lain.

Tapi begitu memasuki masa tua, Soeharto berubah drastis. Dia naik haji, suka mengaji, makin sering ke masjid, ikut takbiran dan pukul bedug di Monas, hingga namanya ditambahi kata Muhammad. Apa ini bukan perubahan dahsyat, seperti pengakuan mendiang DR Nurkholish Madjid.''Ya orang Jawa begitu memang. Pak Harto ya begitu,'' katanya dalam sebuah obrolan.

Makanya jangan heran banyak orang tua Jawa yang seperti itu. Eyang Sabdo misalnya pernah bertanya kepada saya sambil ngobrol santai.''Mas bolehkah orang Islam bakar menyan setiap hari Selasa Kliwon.''

Di tanya soal itu, jawaban saya persis dengan omongan yang hari ini dikatakan Cak Nun (Emha Ainun Nadjib). Jawab saya:''Pak jangankan tiap Selasa Kliwon bakar menyan, setiap hari bakar menyan boleh saja. Syirik itu tergantung niat. Niat ada dalam hati. Yang tahu isi hati hanya si pelaku dan Allah. Yang lainnya tak ada yang tahu. Kan tidak ada bedanya bakar menyan dengan pakai parfum ketika shalat. Ingat parfum juga bisa syirik karena dipakai untuk panggil jin atau melet (jampi-jampi) cewek seperti banyak orang percaya ketika pakai minyak Nyongnyong itu,'' jawabku sambil tertawa. Eyang Sabdo pun ngakak juga.

Sayang, kini eyang Sabdo sudah tiada. Tawanya saya kangen. Juga pelajaran tembang Jawa dan cara memainkan rebabnya yang jenius yang tak bisa saya ikuti meski belajar mati-matian. Cara mendalangnya yang pernah saya lihat dan dengarkan melalui radio tetap melekat dalam ingatan. Alfatikhah untuk Eyang Sabdo dan Ki Kasman...!

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image