Ketika di Bukhara Teringat Menara Big Ben di London
Saya tertegun lama. Bukan karena memandangi bangunan ikonik kota London: Big Ben yang berada di depan mata. Namun saya membayangkan seperti inilah minaret Masjid Agung Allepo yang dibangun pada 1090.
Menara tempat jam besar itu terpasang selesai dibangun tahun 1856 dan diberi nama St. Stephen.
Nama Big Ben mulanya untuk menamai lonceng yang terpasang di menara ini. Diambil dari nama Sir Benjamin Hall, seorang insinyur yang diminta memberikan usulan nama untuk lonceng jam.
Desain menara itu mengikuti bentuk minaret Masjid Agung Allepo yang ada di Suriah. Begitu indah dan anggunnya minaret Masjid Agung Allepo hingga Inggris menginginkan bangunan serupa dan menjadikannya landmark ibukota.
Saya selalu terpesona dengan minaret masjid. Bukan sekadar penanda tingginya buah karya arsitektur Islam pada zamannya. Namun juga di puncak minaret itu lah Sang Muadzin menyeru adzan lima waktu.
Minaret masjid pertama dibangun pada 665 M di Kota Basrah, pada masa pemerintahan Daulah Umayyah. Catatan sejarah yang lain menyebutkan pembangunan pertama di Damaskus pada 673 M.
Salah satu minaret yang pernah saya saksikan dan meninggalkan kepiluan adalah minaret Masjid Agung Cordoba.
Tersebab, tempat muadzin mengumandangkan adzan itu kini telah beralih fungsi untuk menggantung lonceng raksasa yang didentangkan setiap jamnya.
Begitupun minaret-minaret yang ada di kota Bukhara. Sewaktu dijajah komunis Soviet semua minaret dilarang mengumandangkan adzan.
Termasuk minaret paling masyhur bernama Khalyan Minaret yang didirikan Daulah Karakhaniyah pada 1127.
Pada masanya, minaret ini merupakan bangunan tertinggi di dunia. Sejarah mencatat, keindahannya mampu meluluhkan hati Genghis Khan. Ketika seluruh Bukhara dibumihanguskan, ia menyisakan minaret itu, menahbiskan rasa hormat dan takzimnya.
Minaret bukan sekadar bangunan tinggi menjulang. Namun minaret juga menjadi bukti bagaimana keimanan dipertahankan.
Sepertinya yang terjadi di Turki pada masa pemerintahan Mustafa Kemal Atatürk. Pada waktu itu adzan hanya boleh dikumandangkan dalam bahasa Turki.
Ketika ada yang melawan dengan mengumandangkannya dalam bahasa Arab, maka nyawa menjadi taruhannya.
Kini kita menyaksikan, siapa pemenang, siapa pecundang. Adzan yang indah kembali berkumandang di langit Turki.
Harusnya itu cukup menjadi pelajaran. Hayya 'alalfalaah, seruan kemenangan itu tak akan pernah bisa dihentikan.
Jakarta, 24/2/2022
*** Penulis: Uttiek M Panji Astuti, Penulis dan Traveller.