Bisakah Jasa dan Peran Seoharto Dihilangkan Dalam Peristiwa Serangan Umum 1 Maret di Jogja
Sejarah memang berulang. Dahulu di awal Orde Baru terjadi de-Soekarnoisasi. Kini, setelah 22 tahun reformasi gantian terjadi de-Soehatoisasi. Dan ini memang masuk akal, sebab sejarah sejatinya ya satu ekpresi politik. Kebenaran sejarah itu kebenaran penguasa, Semua sudah maklum.
Memang boleh saja Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD buka suara ihwal Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara yang tak mencantumkan nama Presiden RI Kedua Soeharto.Menurut Mahfud, Keppres itu bukan buku sejarah, sehingga harus mencantumkan nama pihak-pihak yang terlibat dalam Serangan Umum 1 Maret 1949.
Namun, Mahfud memastikan nama Soeharto tetap ada dalam sejarah peristiwa tersebut."Ini adalah keputusan presiden tentang titik krusial terjadinya peristiwa, yaitu hari yang sangat penting. Ini bukan buku sejarah, kalau buku sejarah tentu akan sebutkan nama orang yang banyak," kata Mahfud dalam keterangan video, Kamis (3/3).
Mahfud menjelaskan, dalam Keppres itu hanya menyebutkan tokoh-tokoh yang berperan sebagai penggagas dan penggerak Serangan Umum 1 Maret 1949, yakni Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dan Panglima Jenderal Besar Soedirman.Baca artikel CNN Indonesia "Mahfud MD Ungkap Alasan Nama Soeharto Hilang di Kepres 1 Maret Jokowi" selengkapnya di sini: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220303164541-20-766414/mahfud-md-ungkap-alasan-nama-soeharto-hilang-di-kepres-1-maret-jokowi.Download Apps CNN Indonesia sekarang https://app.cnnindonesia.com.
*****
Apa pun alasan Mahfud ya kita mencermatinya dengan biasa- biasa saja. Sembari tersenyum juga boleh. Dahulu angkatan tua, misalnya pada ujung kekuasaan Soekarno tahu betapa dia mendapat stigma sangat burul. Poster tak senonoh muncul pada demontarasi mahasiswa 1966. Mendiang politisi NU Slamet Effendi Yusuf pernah menceritakan soal ini. Tak ada kata kasar, makian kepada Soekarno kala itu terpampang di dinding kota Jakarta.
Dan ini sama dengan nasib Soeharto. Ketika masa mahasiswa menduduki gedung MPR/DPR Senayan hujatan verbal dan llisan juga tertuju kepada penguasa Orde baru itu. Tulisan itu disemportkan didinding tembok tangga gedung kura-kura MPR/DPR.
Yang jelas wartawan senior Julius Pour pernah menulis cukup menarik soal serangan umum 1 Maret 1949 itu. Peran Soeharto dalam tulisan itu jelas sebagai bunga pertempuran. Posisi ini didapat karena Jendral Sudirman menyerahkan soal keamanan ibu kota RI Yogyakarta kepadanya Letkol muda asal dusun Kemusuk Yogyakarta.
''To kamu tahu arti tanggungjawab mengamankan Jogjka kan?,'' kata Sudirman kepada Soeharto sebelum menyingkir melakukan gerilya meninggalkan kota Yogyakarta.
Soeharto yang diajak bicara menjawab singkat: Siap Pak. Tahu Pak risikonya! Setelah mendengar itu Pak Dirman pergi meninggalkan Jogjakarta, Soehato tahu kini dirinya tengah berada di pertaruhan besar. Nyawanya jelas terancam karena penanggung jawab keamanan ibu kota negara.
Kalau memang disebut ide serangan umum dari Sultan Jogja, Hamengku Bawono X atau Soekarno dan Hatta, itu masuk akal. Semua tahu ide serangan itu utamanya datang dari Sultan karena dialah yang selalu mendengarkan siaran radio setiap hari dari seluruh penjuru dunia. Sultan dalam sebuah wawancara sepekan setelah beliau meninggal di BBC mengatakan ide agar dunia tahu bahwa Indonesia masih ada itulah yang mendorongnya menggagas serangan umum 1 Maret.
Melalui film enam jam di Jogja karya Usmar Ismail dan Janur Kuning di sana jelas ada peran Soeharto. Dialah yang memimpin atau mengatur serangan itu. Mendiang pelukis Rusli dahulu pernah mengatakannya dalam sebuah perbincangan santai di Taman Ismail Marzuki. Rusli kala itu adalah anggota pasukan Soeharto.
"Pak Harto tiap malam berjuang menyatukan tentara dengan melakukan koordinasi. Dia mengunjungi kantong-kantong pasukan yang tersebar di sekitar Jogja. Cara menemui pasukan itu unik. Pak Harto pergi dengan menem;uh rute tak umum, misalnya dengan menyusuri sungai dan melewati jalan-jalan setapak. Pak Harto ke mana-mana pakai caping dan selalu berjalan di malam hari,'' katanya.
Peran Soeharto sebagai pemimpin pasukan yang menyerang Jogja selama 6 jam itu tentu diketahu Belanda. Dia selalu dicari-cari. Bahkan selang sehari setelah serangan umum itu, dusun Kemusuk (rumah Soeharto) diserbu. Bapaknya kala itu meninggal dalam serangan Belanda bersama para penduduk desa lainnya. Belanda rupanya sangat geram kepada sepak terjang Sohearto sehingga tega membumi hanguskan kampung Kemusuk dan membunuh ayahandanya. Sejarah meninggalnya ayak Soeharto selang sehari usai serangan umum 1 Maret 1949 ini belum banyak yang tahu.
Yang pasti, seperti dikatakan pelukis Rusli, Soeharto kala itu jadi 'bunga pertempuran'. Namanya disebut-sebut segenap orang. Dan pengakuan atas peran Soeharto ini secara tidak langsung diakui ketika dia diminta perintah membukuk pulang Jendral Sudirman pulag dari medan gerilya. Soehato menjemput pulang Pak Dirman bersama jurnalis Rosihan Anwar. Mereka naik jeep dari kawasan Malioboro menuju markas Pak Dirman yang berada di Pacitan.
Memang boleh saja peran Soeharto dihilangkan dalam serangan umum 1 Maret 1949. Tapi nanti sejarah sendiri akan memberikan kesaksiannya. Ingat sejarah selalu adil. Hal yang sama juga telah terjadi dengan Soekarno dahulu. Tokh Soekarno meski dicoba dihapus jasanya tetap tidak bisa juga.