Bujang Munang: Legenda Tipe Oedipus Ala Indonesia Selain Sangkuriang
![Rumah panggung di Kalimantan.](https://static.republika.co.id/uploads/member/images/news/peswbg9y9j.jpg)
Alkisah pada zaman dahuku di Nanga Serawai, Kalimantan Barat, pernah hidup seorang wanita muda bernama Darang Muning. Pekerjaan sehari-harinya adalah menenun kain di rumah panggungnya.
Pada Suatu hari tanoa disangka-sangka Darah Muning telah melahirkan seorang bayi lelaki. Tidak seorang pun tetangganya yang mengetahui akan ayah bayi yang dilahirkan karena Darah Muning sangat merahasiakannya.
Putranya itu diberi nama Bujang Munang. Ia berkembang menjadi anak yang bertubuh tegap dan berotak cerdas. Dalam permianan, ia selalu menggungguli kawan-kawan sebanyanya, sehingga mereka selalu mengolok-oloknya sebagai anak haram jadah.
Perihal tuduhan yang keji itu pernah ditanyakan Bujang Munang kepada ibundanya. Jawab ibunya adalah bahwa ayahnya sebenarnya ada, hanya ketika itu ia sedang merantau jauh, sehingga tidak dapat bersama-sama dengan mereka.
Pada suatu hari Darah Muning pada waktu sedang menenun, karena ceroboh teorpongnya jatuh ke bawah terus masuk ke kolong rumah panggungnya. Berhubung udara pada siang hari itu sangat panas, Darah Muning segan untuk turun ke bawah rumah untuk mengambilnya. Ia meneriaki putranya, yang berada di bawah rumah, untuk memungutnya. Namun, karena Bujang Munang pada waktu itu sedang sayik bermain, ia tidak menghiraukan seruan ibunya. Dalam kemarahannya, ia melemparkan sekerat kayu ke arah putranya, sehingga menimbulkan luka dalam yang membekas setelah sembuh.
Beberata tahun kemudian Bujang Munang telah tumbuh menjadi seorang remaja yang gagah dan tampan. Karena tidak tahan akan penghinaan yang terus menerus diperolehnya dari para remaja lainnya, walaupun pada waktu itu usianya masih muda, ia berkeputusan merantau mencari ayahnya. Mula-mula ibunya melarang kepergiannya, namun karena sudah teguh keinginananya, maka akhirnya ibunya pun merelakan kepergiannya.
Bujang Munang pun berangkatlah. Pulau demi pulau dijelajahi, namun ayahnya tidak dapat dijumpainya juga. Bertahun-tahun telah lewat, sehingga pada akhirnya di luar tahunya, ia telah tiba kembai ke desa asalnya. Hal ini dapat terjadi karena keadaan desanya telah berubah.
Setelah beberapa waktu berada di Nanga Serawai, Bujang Munang telah berkenalan dengan wanita yang teramat cantik. Celakanya, wanita itu adalah Darah Muning, ibu kandungnya sendiri. Kedua belah pihak pun tak sadar akan hal itu, sehingga mereka saling jatuh cinta dan kemudian menikah.
Pada sautu hari ketika kepala Bujang Munang terasa sangat gatal, maka ia minta isterinya untuk mengutuinya. Ketika sedang asyik menangkap kutu di atas kepala suaminya, Darah Muning menemukan bekas luka dikepalanya, sehingga mengingatkannya akan peristwa beberapa tahun yang lalu, sewaktu ia ia dalam keadaan lupa diri telah melukai putranya,
Kepada suaminya itu, Darah Muning segera menanyakan peristuwa terjadinya luka itu. Setelah Bujang Muning selesai menuturkan kisah terjadinya luka pada kepalanya. Darah Muning tidak syak lagi bahwa yang dikawini ini adalah putra kandungnya sendiri.
Keadaan celaka itu segera diberitahukan kepada suaminya itu. Karena kedua insan terlanjur menjadi suami isteri, dan tak seorang pun bersedia bercerai, maka hal itu sangat merisaukan hati mereka. Yang sangat merisaukan ini adalah bahwa perkawinan mereka yang sumbang ini akan dikutuk para dewa.
Atas nasihat orang-orang tua desa, mereka berkeputusan untuk mendirikan sebuah rumah panggung tinggi yang disebut 'posa' untuk menyembahkan sesajian mereka kepara pada dewa.
Pembuatan panggung itu langsung ditangani Bujang Munang sendiri. Namun malang baginya, sewaktu membelah kayu tiba-tiba kapak yang diayunkan jatuh meleset dan jatuh melukai alat kelaminnya. Melihat kejadian itu Darah Muning segera memegang dengan kencang alat kelamin suaminya dengan maksud agar darah segera dapat berhenti mengalir.
Rupanya perbuatan itu dianggap tidak senonoh oleh para dewa, sehingga menimbulkan amarah mereka. Tiba-tiba udara menjadi gelap gulita, petir kilat bergelegar sambung menyambung.
Setelah udara cerah kembali seperti sedia kala, terlihat Bujang Munang, Darah Muning, dan panggung persembahan sesajian mereka talah merubah menjadi batu.
![Image](https://static.republika.co.id/uploads/member/images/profile/thumbs/b33074a3bb9e0152444af39cb7720ee0.jpeg)