Aneh, Kepres Serangan Umum 1 Maret Tak Konsisten dengan Naskah Akademiknya

Sejarah  
Seorang tentara Indonesia dengan menggemgam senjata semi-otomatis tiba di Yogyakarta dari Semarang, pada akhir Desember 1947. (Foto:gahetna.nl)
Seorang tentara Indonesia dengan menggemgam senjata semi-otomatis tiba di Yogyakarta dari Semarang, pada akhir Desember 1947. (Foto:gahetna.nl)

Penulis dan pemerhati sejarah Lukman Hakiem mengatakan pihaknya telah membaca naskah akademik Kepres soal serangan umum I Maret 1949 (Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara). Naskah itu setebal 200 halaman. Isi kesuluhan bagus. Hanya bercerita peristiwa tersebut beserta tokohnya.

''Tapi dalam naskah akademk juga menyarankan supaya pembicaraan tentang Serangan Umum 1 Maret di Jogja itu menghindari penonjolan tokoh. Uniknya, naskah akademik masih bicara juga soal tokoh peristiwa itu, misalnya menyebut Sudirman, Soekarno, Hatta, Syafruddin Prawiranegara, Soeharto, dan lainnya. Mereka semua disebut padahal katanya tanpa menyebut tokoh, hanya peristiwa,'' kata Lukman Hakiem dalam perbincangan di Jakarta (7.2/2022). Seperti diketahui Lukman Hakiem juga mantan staf Moh Natsir, anggota DPR, dan staf ahli Wapres Hamzah Hazz. Lukman banyak sekali menulis buku yang terkait sejarah beserta para tokohnya.

Dengan demikian, lanjutLukman, meski dalam naskah akademik itu semangatnya hanya bicara soal peritiwa, namun ketika kemudian juga menyebut peran tokoh, pasti akan timbul kontroversi dari publik. Sebab, banyak yang tahu persis soal sejarah peristiwa yang dahulu terkenal dengan sebutan 'Enam Jam di Jogja'.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

''Misalnya, ketika terkait bila Soekarno dan Hatta berperan atau menggerakkan peristiwa itu Ini tak mungkin. Sebab, keduanya berada dalam tahanan Belanda di Bangka. Apalagi saat itu Soekarno bukan lagi sebagai presiden RI atau penguasa. Dia saat itu sudah menyerahkan mandat kekuasaan kepada Syafruddin Prawiranegara yang menjadi Presiden PDRI di Bukittinggi. Dia sudah mengambil alih pemerintahan. Pak Syafruddin juga sudah membentuk kabinet. Ini makin aneh bin ganjil ketika Keppres malah tidak menyebut Soeharto dan malah menyebut Soekarno,'' ujarnya.

''Padahal dalam naskah akademik Soeharo berulangkali disebut. Jadi sekali lagi ganjil bila kemudian dalam Keppres nama beliau tidak muncul. Malah nama Soekarno dan Hatta yang muncul. Ini apa lagi kalau tidak disebut aneh,'' kata Lukman Hakiem.

Menurut Lukman, yang dia persoalkan adalah soal Keppres tersebut yang tidak konsisten dengan naskah akademiknya. Bila dibiarkan ini akan membuat masalah sebab akan menjadi sarana membelokan sejarah karena Keppres adalah dokumen resmi negara.

''Jelas sikap dan keputusan tersebut saya sayangkan. Keppres itu jelas harus dikoreksi dan agar konsisten dengan naskah akademiknya. Jangan jadikan naskah akademik sebagai tameng Keppres untuk menghapus nama Soeharto dan menonjolkan peran Soekarno. Itu tidak baik. Kita akan mengkhianati sejarah dan generasi yang akan datang,'' tegasnya.

Senada dengan Lukman, politisi senior dan sekaligus sejarawan Ridwan Saidi juga bersikap yang sama. Dia mengatakan sangat aneh bila Soekarno Hatta disebut sebagai penggerak serangan umum I Maret 1949 tersebut.

''Ya aneh memang, bila Soekarno terlibat. Kala itu dia jelas-jelas dalam tahanan dan tidak berkuasa. Yang jadi presiden itu Pak Syafruddin Prawiranegara. Serangan itu murni manuver TNI yang ingin eksistensi kedaualtan RI tegak dengan senjata,'' kata Ridwan Saidi.

Tak hanya itu, lanjut Ridwan, antara Jendral Sudirman dan Soekarno saat itu terjadi jurang beda pendapat. Sudirman ingin perang dan yakin bisa segera menang perang seperti yang terjadi dengan Jendral Ho Chi Minh di Vietnam ketika mengalahkan kolonial Prancis. Soekarno memilih berunding.

''Sekali lagi, kala itu Soekarno ada dalam penjara. Yang berkuasa itu adalah Pak Syafruddin Prawiranegara. Dialah yang mengangkat Jendral Sudirman sebagai Panglima Besar Angkatan Perang Indonesia. Soekarno kala itu tidak akur atau sejalan sama Sudirman. Ini semua orang perlu tahu. Tokoh lain yang sejalan dengan Sudirman adalah Tan Malaka. Kita buka saja apa yang terjadi kala itu,'' ungkap Ridwan Saidi.

Bagaimana dengan soal film tentang serangan umum 1 Maret 1949? Selaku budayawan Ridwan kemudian menjawab bila peran Soeharto pun sudah ada semenjak film 'Enam Jam di Jogja' karya Usmar Ismail.''Film itu saya nonton di awal tahun 1952. Di sana ada sosok dan peran Sudirman, Sultan Hamengku Buwono IX dan Soeharto. Tak ada peran Soekarno-Hatta karena itu memang tidak di Jogja melainkan dalam tahanan di Bangka. Itu saja sejarahnya. Istilah serangan umum 1 Maret 1949 pun istilah yang datang belakangan. Dahulu, peristiwa itu populer disebut dengan 'Enam Jam di Jogja' seperti judul film Usmar Ismail itu, '' kata Ridwan menandaskan.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image