Pada Perjuangan Kemerdekaan Memang Terjadi Perbedaan Pendapat Antara Soekarno dan Sudirman

Sejarah  
Panglima Besar Jendral Sudirman tiba di alun-alun utara Yogyakarta sepulang dari medan gerilya. Tampak di sebelah kanan sudirman yang tengah hormat, Soeharto (berbaju putih) dan Supardjo Rustam (paling kanan). Dalam goto itu tampak juga Tjokropranolo (mantan gubernur DKI Jakarta) yang tegak berdiri membawa senjata di dada.
Panglima Besar Jendral Sudirman tiba di alun-alun utara Yogyakarta sepulang dari medan gerilya. Tampak di sebelah kanan sudirman yang tengah hormat, Soeharto (berbaju putih) dan Supardjo Rustam (paling kanan). Dalam goto itu tampak juga Tjokropranolo (mantan gubernur DKI Jakarta) yang tegak berdiri membawa senjata di dada.

Kalau sekarang ini ada pihak yang mengatakan Soekarno (dan juga Hatta) menjadi penggerak serangan 1 Maret 1949 memang bisa dibilang 'lucuan'. Bagi yang tahu dan membaca sejarah dengan detil serta pernah bertemu dengan tokoh-tokoh yang terlibat, serta membaca berbagai buku pra tokoh soal peristiwa itu jelas terasa janggal.

Memang Soeharto juga berlebihan kalau mengklaim dirinya sebagai pencetus ide serangan itu. Dan juga harus diakui Sri Sultan Hamengkubuwono IX juga berlebihan bila mengklaim dirinya sebagaoi satu-satunya penggagas ide serangan tersebut. Meski begitu harus diakui baik Soeharto dan Sri Sultan berperan teramat vital pada serangan tersebut. Jadi jasa keduanya tak mungkin dihilangkan atau dihapus begitu saja. Kita tak usah mengulangi kedegilan bahwa 'Sejarah ditulis oleh para pemeneng (penguasa). Atau disebut oleh pakar sejarah DR Taufik Abdullah sebagai 'His Stroy' (cerita dia), bukan 'History' (Sejarah).

Fakta sejarah yang lucu pada hari ini memang soal klaim Soekarno-Hatta sebagai penggerak serangan itu. Bahkan, ada klaim yang mengatakan bila Sri Sultan Hamengku Buwono IX meminta izin Soekarno-Hatta untuk melakukan serangan besar-besaran ke Yogyakarta pada siang hari itu. Ini jelas aneh dan lucu, karena Soekarno (dan juga Hatta) kala itu tidak berkuasa. Dia malah ada dalam sel penjara di Manumbing, Bangka. Yang berkuasa saat itu adalah Syafruddin Prawiranegara yang memimpin PDRI dari tengah belantara Sumatra Barat, Halaban. Syafruddin juga telah punya kabinet dan mengangkat menteri yang berkedudukan di Jawa dan luar Jawa. Bahkan dialah yang memberi gelar kepada Jendral Sudirman sebagai Pangilma Besar Angkatan Perang Republik Indonesia. Jejak ini adalah fakta dan tak mungkin dihapus bila semua pihak jujur dalam sejarah. Syafruddin dengan PDRI-nya juga aktif melakukan hubungan dengan luar negeri. Jadi dialah yang eksis sebagai penguasa RI kala itu.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Kejujuran sejarah lainnya yang pada hari ini yang harus dibuka adalah bila saat itu antara Soekarno dan Sudirman tak akur. Keduanya saat itu terlibat perbedaan prinsip, meski lebih dikatakan dalam hati. Soekarno memilih berunding. Sudirman semenjak awal sudah memilih 'jalan perang' untuk merebut kemerdekaan. Bahkan dialah yang mengatur siasat ketika sadar sekali Belanda akan datang menyerbu Indonesia.

Pemikiran Soekarno memilih jalan berunding adalah dengan menyadari kekuatan angkatan perang Indonesia tidak sekuat Belanda. Perang akan membuat negara dan rakyat kepayahan, serta banyak jatuh korban. Sudirman sebaliknya, hanya dengan jalan perang itulah kemerdekaan bisa direbut secara mutlak. Merdeka dengan 100 persen. Dia terinspirasi kemenangan Jendral Vietnam Ho Chi Minh kala menggulung tentara kolonial Prancis yang terusir dan kalah secara telak.

Dan keyakinan Sudirman saat itu terjadi karena dia merasa perang akan bisa diselesaikan. Di berbagai pertempuran, mulai kuartal pertama tahun 1948, kala itu pasukannya mulai meraih kemenangan. Yang penting lagi Sudirman melihat tentara Belanda yang terdiri dari juga dari anak-anak muda Indonesia dari berbagai daerah yang masuk menjadi tentara NICA, telah jatuh mentalnya. Sudirman juga tahu bahwa tentara Belanda tak profesional amat, sebab banyak diantara tentara bule Belanda itu hanya berasal dari bekas anak sekolahan yang masuk wajib milter saja. Sebagian dari mereka juga merupakan tentara bayaran dari berbagai negara Eropa. Pendek kata mereka tak dibekali mental dan kemampuan pertempuran yang mumpuni.

Dan ide perang dan merdeka secara total Sudirman juga sudah lama menjadi ide dari pendiri bangsa yang sampai sekarang dianggap pejorasi, Tan Malaka. Akivis Partai Sosialis Murba sejak awal merdeka sudah punya pemikiran bahwa hanya perang itulah yang akan membawa Indonesia merdeka secara total. Akibat keyakinannya ini, Tan Malaka kemudian ditembak mati oleh pasukan dari salah satu komponen tentara di Jawa Timur di desa Pathok, Kediri.

Catatan sejarah di sini jelas menyatakan bila pada pecahnya Revolusi tahun 1945, Tan Malaka menentang kebijakan yang yang terlalu hati-hati dari kepemimpinan Republik Indonesia, yakni Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Ia lebih menyukai mobilisasi massa sebagai bentuk perubahan revolusioner. Tan Malaka menjadi tokoh sentral dalam Persatuan Perjuangan radikal menuntut “Kemerdekaan 100 persen”.

Tan Malaka kala itu juga dituduh berusaha menggulingkan negara, ia dipenjara sejak Maret 1946 hingga September 1948. Ketika Bung Hatta membebaskannya untuk memperkuat kekuatan anti-PKI, Tan Malaka tetap menjadi pengkritik lugas atas praktik negosiasi Republik dengan Belanda. Pada November 1948 dia menjadi “promotor” partai baru bernama Murba. Tan Malaka terus berkampanye melawan pemerintah Republik setelah Agresi Militer Belanda ke-II. Tan Malaka meningal sebelum pecahnya serangan umum 1 Maret 1949.

Kenyataan adanya jurang hubungan antara Soekarno dan Sudirman (juga Tan Malaka) pada periode masa perang kemerdekaan tak bisa dibantah. Para tentara dan 'kaum kiri' kala itu mengolok para perunding sebagai anak sekolahan yang jeri berperang.''Mereka terlalu banyak hitung-hitungan. Ini karena mereka orang pintar,'' begitu ungkapan yang populer kala itu.

Apa yang dirisaukan Sudirman bahwa Indonesia merdeka dengan tidak 'secara total/100 persen' itu kemudian terbukti di Perjanjian Denhaag, Konprensi Meja Bundar pada akhir tahun 1949. Indonesia memang diakui kedaulatannya oleh Belanda, harus membayar pampasan perang alias ganti rugi yang sangat besar kepada Belanda.

Dalam sebuah perbincangan antara mantananggota delegasi Indonesia di KMB, MR Moh Roem, dengan politisi senior Ridwan Saidi, hal itu diakui. Kata Mr Roem, Indonesia harus membayar biaya perang Belanda selama melakukan agresi di Indoesia dari tahun 1945-1949. Saking kesalnya misalnya, Mr Roem mengatakan seolah peluru yang ditembakan dan membunuh rakyat Indonesia dari tentara Belanda, harus Indonesia yang bayar. Akibat lain dari perjanjian KMB itu adalah Bank Central menjadi bank swasta. BNI'46 gagal menjadi bank sentral. Posisi dia digantikan oleh Javaasce Bank yang kemudian kini disebut dengan Bank Indonesia yang gedungnya berada di tepian kawasan Monas itu.

Terkait soal ini, banyak pihak yang kecewa. Kaum kiri mengkritik habis-habisan perjanjian itu. Apalagi mereka sudah lama membenci sang ketua delegasi Indonesia di KMB, yakni Wapres Moh Hatta. Mereka mengolok perjanjian itu."Masa kita menang perang malah harus bayar pampasan. Padahal Belandalah yang justru bayar pampasan,'' kata mereka. Jejakl dan kontroversi soal ini terekam dalam arsip berita milik Antara yang terbit kala itu. Saking hebatnya polemik 'merdeka dengan bayar ganti rugi' kemudian sampai ada seruan dari pemerintah saat itu agar polemik itu dihentikan.

Jadi apa yang dikhawatirkan Sudirman pada kemudian hari terbukti benar adanya. Banyak pihak yang menyebut juga bahwa penjanjian KMB merupakan bentuk kekalahan telak pertama Soekarno pada rezim kapilitalis barat. Impian Sudirman bahwa Indonesia merdeka secara penuh seperti Vietnam menjadi gagal total. Malah wilayah RI mengecil yang baru kemudian dikembalikan lagi saat Moh Natsir menjadi perdana menteri melalui 'Mosi Intergral'-nya yang menyatakan kembali ke NKRI.

Sejarah ini jangan dilupakan, Jujurlah. Negara ini dimerdekakan oleh banyak orang, Banyak negara seperti India di mana keturunan Jawaharlal Nehru mengklaim diri 'punya' negara terlalu besar. Inilah yang berakibat kemudian India pecah, jadi tiga: India, Pakistan, dan Bangladesh, DI sana malah peran sosok sentral Mahatma Gandhi pun sempat terlupakan. Persis seperti Indonesia lupa pada sosok penting seperti Tan Malaka hingga terkesan juga kepada Hatta,Syahrir, Nasir, Jendral Sudirman, dan lainnya

Ini mengapa? Jawabnya: Kalau tidak ingin negara pecah jangan kemerdekaan negara jangan diklaim berkat jasa satu dua orang!

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image