Soal 1 Maret, Harga Minyak, dan Kisah Rachmawati Soekarnoputri Terkena Rudal AS di Irak
Tahun 2003 saya dan Rachmawati menghadiri Islamic Conference di Bagdad, Iraq. Ketika itu Iraq diisolasi Global Power Holder (GBH). Peserta konperensi bermalam di Al Rasheed Hotel, Bagdad.
Makan malam di dining room dengan lampu-lampu gemerlapan. Tiba-tiba lampu ber-goyang-goyang lalu terdengar suara ledakan yang amat dahsyat. Bangunan hotel berguncang dan kaca berpecahan. Banyak tamu terkapar di lantai berkuah darah.
Ini serangan Tomahawk. Aku harus mencari dimana Rachmawati. Aku berjalan di sela-sela tubuh tanpa kepala dan kepala tanpa tubuh. Jerit tangis menguatkan dramaturgi bencana kiriman GBH. Di suatu sudut aku tengok ada perempuan bersimpuh memakai jurk hitam terusan dengan rambut kusut masai. Semoga itu Rachma. Aku dekati wanita itu dan ia menatapku seraya air matanya berlelehan.
Rach, janganlah menangis, kamu putri proklamator, bangunlah, ikut saya ke bunker.
Rachmawati menurut. Aku bahagia bertemu kembali dengan dia.
GBH adalah system yang mampu mengatasi gejolak harga minyak 1973 pasca perang Ramadhan. Saat itu kita senyum sumringah karena kita exportir minyak. Situasi jelang kemelut harga minyak sekarang posisi kita sejak beberapa tahun alami rokade jadi importir.
Pagi tadi minyak dunia per barrel $128. APBN patok separohnya $63. Ini akibat GBH larang minyak Rusia masuk pasar dunia. Keadaan Rusia seperti ayam menelan gelang karet.
Kita harus siap-siap kalau harga minyak sentuh benchmark $139.13, maka seterusnya harga minyak tak dapat dikendalikan lagi.
Pemeringah sudah selayaknya tidak jadi sejarawawan yang utik-utik pelaku serangan umum 1 Maret 1949. Tahun 1954 di bioskop-bioskop diputar film Enam Jam di Jogya. Saat itu film sejarah belum ada tendensi manipulasi. Memang Suharto dan Sultan Jogya berperan dan digambarkan dalam film itu.
Selain itu berhentilah berpolemik soal tunda pemilu. Ini tak meningkatkan index kecerdasan.
In concreto apa langkah pemerintah jelang harga minyak sentuh benchmark?
*** Penulis: Ridwan Saidi, Politisi Senior, Sejarawan, dan Budayawan Betawi.