Ukraina Apakah Akan Menjadi Suriah Kedua?

Politik  

Perang meletup di Ukraina sejak invasi Rusia ke negara itu Kamis pekan lalu sejatinya adalah konflik dalam skala lebih luas, yakni persaingan di tingkat global antara Rusia dan Amerika Serikat. Karena itu, kecil kemungkinan Presiden Rusia Vladimir Putin mau mengalah.

Apalagi pengalamannya sebagai perwira KGB (dinas rahasia luar negeri Uni Soviet) di masa Perang Dingin antara Blok Barat dipimpin Amerika dengan Blok Timur dikomandoi Soviet, memaksa Putin harus menjaga gengsi. Hal ini sudah terlihat dari beberapa keputusan Putin.

Dia sudah menetapkan syarat perdamaian dengan Ukraina tidak boleh ditawar, yakni negara itu harus mengubah konstitusi untuk menjadi netral dalam aspek keamanan dengan tidak boleh bergabung pada blok manapun. Ukraina harus mengakui Crimea sebagai wilayah kedaulatan Rusia serta Donetsk dan Lughansk sebagai negara merdeka.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Putin secara sepihak telah mengakui kemerdekaan Donetsk dan Lughansk pada 23 Februari lalu, beberapa jam sebelum memerintahkan agresi ke Ukraina.

Meski menyadari Rusia adalah satu dari tiga negara adikuasa selain Amerika dan Cina, sebagian negara Barat dan sekutu-sekutunya seolah ingin menguji nyali dan kesabaran Putin. Karena itu, mereka beramai-ramai bukan sekadar mengecam tapi menerapkan sanksi ekonomi terhadap Rusia dan para petingginya, termasuk mengeluarkan Rusia dari SWIFT (sistem transaksi keuangan internasional), perusahaan-perusahaan mereka menghentikan operasi di Rusia, dan menutup wilayah udara bagi maskapai dari negara Beruang Merah itu.

Bahkan beberapa anggota NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara) mengirim pasokan senjata kepada tentara pemerintah Ukraina dan dua kelompok neo-Nazi di sana, Batalion Azov dan Batalion Aidar, agar mampu menghadapi serangan udara dan gempuran artileri Rusia.

Putin membalas dengan menerbitkan daftar negara tidak bersahabat dengan Rusia, yakni Amerika, Ukraina, negara-negara Uni Eropa, Australia, Albania, Andorra, Inggris, Islandia, Kanada, Liechtenstein, Mikronesia, Monako, Selandia Baru, Norwegia, Korea Selatan, San Marino, Makedonia Utara, Singapura, Taiwan, Montenegro, Swiss, dan Jepang.

Para pengungsi Ukraina mencari perlindungan ke luar dari wilayah perang.
Para pengungsi Ukraina mencari perlindungan ke luar dari wilayah perang.

Putin juga sudah memutuskan menghentikan ekspor ke negara-negara terlarang, daftarnya akan dikeluarkan dalam waktu dekat, hingga 2023.

Bahkan Zelensky seperti lupa negaranya tengah menghadapi siapa. Dia pun menyerukan mobilisasi massal dan mempersenjatai warga sipil. Dia juga mengundang relawan asing dari seluruh dunia, jumlahnya sekarang sudah 20 ribu, untuk datang membantu berperang melawan Rusia.

Jika Perang Rusia-Ukraina berkepanjangan maka dampaknya bakal lebih buruk ketimbang Perang Suriah, juga melibatkan banyak negara, termasuk Amerika dan Rusia. Penduduk sipil sudah dipersenjatai, termasuk dua kelompok neo-Nazi yang rasis terhadap orang kulit berwarna. Relawan asing juga diundang. Tentu dua kebijakan Zelensky itu akan menjadi blunder kalau keadaan makin tidak terkontrol.

Belum dua pekan saja, harga gas di Eropa kemarin sudah US$ 3.700 per seribu kaki kubik. Harga minyak mentah Brent kemarin juga menyentuh angka US$ 139 per barel.

Menurut tradingeconomics, Rusia adalah produsen minyak mentah terbesar kedua (10,503 juta barel per hari) setelah Amerika (11,567 barel sehari). Di bawah Rusia ada Arab Saudi dengan produksi 10,145 juta barel saban hari. Rusia memasok 10 persen dari total konsumsi minyak global. Eropa mengimpor hampir 40 persen dari total produksi gas alam Rusia saban tahun, angkanya bisa melonjak tiap musim dingin.

Belum lagi banjir pengungsi ke Eropa. Belum dua minggu perang berlangsung, UNHCR (Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa urusan Pengungsi) menyebut sudah lebih dari dua juta warga Ukraina mengungsi ke Eropa. Tentu dengan dampak ekonomi yang berat lantaran pemulihan di tengah pandemi Covid-19 belum rampung, kian membebani negara-negara Eropa menampung pengungsi Ukraina.

Perang Rusia-Ukraina berkepanjangan bisa membikin dunia terbelah lagi seperti era Perang Dingin: Blok Barat dan Blok Timur.

Seorang mantan pejabat CIA (dinas rahasia luar negeri Amerika) urusan Uni Soviet di era Perang Dingin Burton Gerber menegaskan jangan anggap Putin sedang bercanda. Dia bilang orang sangat mengenal Putin tidak akan menganggap Putin main-main ketika dia menyatakan sudah menyiagakan nuklirnya.

Direktur CIA William Burns William Burns memperingatkan kebijakan mengisolasi Rusia hanya akan membikin Putin sulit untuk diajak berunding.

Kalau sudah begitu, perang akan berkepanjangan serta dampak buruknya bagi Eropa dan dunia lebih dari Perang Suriah. Semoga Eropa tidak lupa soal pengalaman pahit dari dua Perang Dunia pernah terjadi di benua mereka.

***Penulis: Faisal Asegaf, Pengamat Timur Tengah dan Pimred Al Balad.co

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image