Islam di Korea: Ditakuti dan Ketakutan
Tahun 2018 Pulau Jeju, Korea Selatan (Korsel), kedatangan 500 pencari suaka dari Yaman. Sekujur negeri gempar dan berdebat soal bagaimana menangani pengungsi. Ada petisi agar pemerintah mengambil tindakan, dan protes anti-pengungsi.
Yi Seo-jeong, peneliti di Sogang Euro-MENA Institute, melihat semua ini sebagai peluang untuk mempelajari masjid-masjid yang melayani komunitas Muslim di Korea.
"Saya mulai dengan pertanyaan sederhana, di mana dan bagaimana umat Islam di Korsel mempraktekan iman mereka," kata Yi kepada The Korea Times.
Ternyata, ada sekitar 100 sampai 150 fasilitas keagamaan Islam di Korsel. Kebanyakan relatif kecil. Yi berinteraksi dengan penganut Islam, dan menuliskan penelitiannya dalam buku Broader Perspective for Strangers.
Dalam buku itu Yi bercerita pengalamannya mencari masjid dan pusat Islam di Korea, intoleraksi, dan diskriminasi dalam masyarakat Korea. Serta mengapa mencapai hidup berdampingan secara damai dengan Muslim itu penting.
Sebagai sarjana yang berspesialisasi dalam Studi Islam, Yi mampu menjalin hubungan dengan umat Islam secara instan.
"Banyak orang Korea curiga dan takut kepada Muslim. Tapi banyak juga Muslim yang ketakutan kepada orang asing," kata Yi. "Beberapa orang yang saya temui di masjid bersembunyi atau pindah begitu saya masuk. Bagi mereka, saya adalah orang asing."
Muslim di Korea, Siapa Mereka?
Jumlah Muslim di Korea saat ini di bawah 200 ribu, atau 0,4 persen dari populasi. Menurut Federasi Muslim Korea, mayoritas adalah pekerja dan pelajar dari Uzbekistan, Indonesia, Kazakhstan, Bangladesh, dan Pakistan.
Pandangan anti-Islam membuat Muslim tidak menonjolkan diri ketika mempraktikan keyakinan mereka. Di sisi lain, Muslim berusaha menikmati kebebasan beragama tanpa menghadapi tantangan keras dari tetangga.
Mayoritas Muslim adalah laki-laki muda. Mereka bekerja untuk mendapatkan uang asing. Sama seperti yang dilakukan penambang Korea di Jerman tahun 1960-an dan 1970-an.
Di kota-kota kecil di Korea, Muslim berkumpul di mushala atau tempat ibadah karena keterjangkauan dan aksesibilitas.
Pandemi Covid-19 mengintensifkan sentimen anti-Muslim di Korea. Tahun lalu 50 Muslim dinyatakan positif Covid-19 selama Ramadhan. Muncul pidato kebencian online.
Umat Islam juga menghadapi reaksi keras ketika membangun masjid berlantai dua lingkungan perumahan di Daegu. Reaksi itu berupa ujaran kebencian, diskriminasi, xenofobia, dan lainnya.
Islamofobia
Yi menjelaskan alasan di balik konflik pembangunan masjid di Daegu. "Alasan pertama adalah Islamofobia, meski sebenarnya adalah ketakutan harga tanah turun setelah berdiri masjid."
Kedua, masih menurut Yi, masalah keamanan. Pejabat publik takut ada ekstremis di antara komunitas Muslim itu. Jika ada satu saja di antara 250 ribu Muslim yang menjadi ancaman masyarakat, itu akan jadi msalah besar.
Ketiga kebencian rasial pada ketidaktahuan yang disengaja. "Inilah yang sulit dipecahkan," kata Yi.
Yi meminta pemerintah membentuk komite arbitrase atau forum terbuka untuk mencapai kesepakatan antara Muslim dan Korea.
"Di Inggris dan Jerman, ada dialog reguler dan berkelanjutan antara pejabat di semua tingkatan pemerintahan dan Muslim," ujar Yi. "Memang butuh bertahun-tahun, tapi pemerintah perlu mengoordinasikan warga Korea dan Muslim."
Menurut Yi, angka kelahiran rendah selama bertahun-tahun menyebabkan kekurangan pekerja muda. Pertanian dan pabrik lebih sulit mengisi pekerjaan upah rendah dan universitas kekurangan mahasiswa lokal.
Tidak ada pilihan bagi Korea selain membuka pintu bagi pekerja dan mahasiswa dari negara lain. Muslim adalah kelompok agama dengan pertumbuhan tercepat di dunia, karena populasi Muslim global tumbuh.
Perlahan Membuka Pintu
Yi melihat Korea perlahan-lahan membuka pintu bagi umat Islam. Tahun lalu, 391 warga Afghanistan memasuki Korea atas nama kontributor khusus, bukan pengungsi. Pemerintah bekerja cepat untuk menemukan rumah, pekerjaan, dan sekolah bagi mereka.
"Ada pertengkaran, tapi saya bangga bahwa berurusan dengan masalah seperti ini berarti Korea meningkatkan posisinya di komunitas internasional," kata Yi.
Adalah bagian tugas setiap orang Korea untuk merangkul budaya, agama, ras, dan kebangsaan berbeda, dan menemukan titik temu antara orang Korea dan Muslim.
*** Penulis: Teguh Setiawan, Jurnalis Senior