Jimly Asshiddiqie: Pemilu Itu Cuma Formalitas Untuk Rezim Otoriter

Politik  
Paduka Yang Mulia (PYM) Presiden Soekarno dalam sebuah orasi di depan masa. Soekarno ditetapkan MPR menjadi presiden seumur hidup pada tahun 1963.
Paduka Yang Mulia (PYM) Presiden Soekarno dalam sebuah orasi di depan masa. Soekarno ditetapkan MPR menjadi presiden seumur hidup pada tahun 1963.

Pakar hukum Tata Negara dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof DR Jimly Asshiddiqie, mengatakan manuver hukum memperpanjang masa jabatan presiden hingga tiga kali atau menunda pemilu dipastikan akan gagal. Apalagi mayoritas partai di parlemen hingga DPD dipastikan akan menolak manuver itu yang hendak merubah konstitusi.

''Kini partai-partai yang siap pemilu sudah jelas menolak. Dan saya yakin anggota DPD secara mayoritas juga menolak. Manuver ini telah gagal sebenarnya,'' kata dalam sebuah Webinar yang diuanggah di Youtube oleh Channel Bravo's Radio, pada hari ini (10/2/2022).

Jimly mengatakan, saat ini keinginan untuk memperpanjang masa jabatan hingga membuat masa jabatan presiden bisa sampai tiga kali merupakan fenomena dunia. Jadi tidak hanya di Indonesia saja. Ini misalnya sudah terjadi di Rusia, Kamboja, bahkan ada suara juga di Amerika Serikat Saat Donald Trump berkuasa.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

''Di Rusia misalnya, Putin bisa kembali berkuasa lebih dari dua periode dengan mengakali konstitusi. Karena di sana konstitusi juga membatasi masa jabatan presien hanya dua periode, maka dia kemudian mengaki dalam pemilu berikutnya hanya menjadi wakil presiden. Setelah jadi wapres, maka kembali Putin buat manuver untuk kembali menjadi presiden. Ini jiuga terjadi di Kambola, di mana Hun Sen semenjak tahun 1993 berkuasa sampai sekarang. Di sana juga ada pemilu reguler, tapi dia tetap berkuasa,'' ujarnya Jimly yang kini menjadi anggota DPD RI.

Demokrasi, tegas Jimly, di seluruh dunia memang pada saat ini mengalami penurunan. Apalagi sekarang juga tengah terjadi pandemi. Maka, semua hal bisa diakali. Peraturan perundangan terlihat dibuat hanya formalitas dengan menampung aspirasi rakyat yang tidak bisa bebas dan penuh karena ada pandemi.'' Misalnya, mahasiswa juga tak bisa demo dengan leluasa karena ada aturan social distancing."

Menurut Jimly, secara ideal dari semenjak dahulu Demorasi digagas dengan mematuhi aturan hukum. Konstitusi dipakai sebagai pembatasnya. Di sinilah kemudian muncul istilah negara hukum (rechtsat). Bentuk negara hukum ini berlawanan dengan negara kekuasaan (machtstat).

Jadi di demokrasi itu acuannya konstitusi atau hukum. Tanpa itu kekuasaan akan sangat merusak karena mutlak. Dalam hal ini sesuai dengan ujaran dari Lord Acton: Power tend to corrupt, absolut power corrupt absolutly. Akhirnya negara menjadi punya keluarda dan sebiah kelompok saja. Ini sudah terjadi di Amerika Serikat kala massa Donlad trump di mana kelompok bisnis dan keluarga mengatur negara dari kediaman presiden di Gedung Putih.

Menyinggung mengenai budaya kekuasaan di Indonesia, Jimly mengatakan budaya kekuasaan Indonesia masih feodal. Akibat budaya ini masuk akal kiranya bila hari ini masih ada pihak berusaha memperpanjang masa jabatan presiden hingga tiga kali atau melakukan manuver menunda pemilu."Padahal yang ingin menunda pemilu adalah partai-partai yang belum siap."

Usaha memperpanjang masa jabatan, ungkap Jimly, juga sudah terjadi dalam sejarah kekuasaan di Indonesia. Dahulu Soekarno sempat diputuskan MPR 1963 menjadi presiden seumur hidup. Lalu Soeharto juga bisa memperpanjang masa jabatan berkali-kali melalui pemilu. Soeharto misalnya sebenarnya sudah sejak tahiun 1990 menyatakan tak mau lagi jadi presiden. Tapi orang-orang dan kelompok yang ada disekitarnya terus membujuknya dengan berbagai manuver dan cara. Akhirnya Pak Harto tersuduh dan mau jabat lagi.

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image