Humor Gus Dur Bertemu Pak Harto di Cendana Pada Sore Jelang Pelantikan Menjadi Presiden
Bagi jurnalis politik peliput sidang umum MPR 1999, Gus Dur menjadi presiden pengganti BJ Habibie memang keajaiban. Di sana ada campur tangan tuhan. Bayangkan partai yang dipimpinnya, yakni PKB, bukan pemenang pemilu. Partai pemenang pemilu 1999 adalah PDI Perjuangan, pimpinan Megawati Soekarnoputri. Tapi justru dialah yang menjadi presiden. Adanya keajaiban itu masuk akal bila banyak orang menyebut dia sebagai wali.
Bila mengikuti logika pemilihan umum, misalnya di negara beristem parlementer, maka Megawati itulah yang berhak susun pemerintahan. Namun, ini akan kesulitan sebab partai ini hanya meraih 33 persen suara pemilu. Maka mau tidak mau dia harus gandeng partai lain.
Celakanya, saat itu sistem pemilihan presiden Indonesia berada di tangan anggota MPR. Maka secara hitung-hitungan di atas kertas PDI P tak bisa meraup posisi presiden. Apalagi kemudian bila digabung dalam posisi jumlah anggota MPR (yang terdiri dari anggota DPR dan utusan daerah, sarekat pekerja, dan lainnya). Posisi Megawati tetap belum bisa mayoritas.
Posisi Megawati semakin terjepit dengan manuver Amien Rais dan Akbar Tanjung yang membentuk poros tengah. Mereka jelas tak suka Megawati bila saat itu jadi presiden. Apalagi orang Golkar yang perolehan suaranya masih lumayan, mereka juga enggan kepada Megawati karena baru saja didongkel dari kekuasaan. PPP misalnya juga tak mau bergabung dalam Megawati dengan berbagai alasan dari soal ideologis hingga kepentingan polltik praktis saat itu.
Akhirnya Gus Dur menjadi pilihan terbaik. Sosok dia merupakan 'jalan tengah' karena bisa ke kiri yakni kelompok Megawati dan ke kanan kelompok yakni kelompok Amien Rais, Golkar, dan politik Islam. Akhirnya Gus Dur dengan mulus menjadi presiden. Dia menang atas Megawati dalam pemungutan suara di Sidang Umum MPR yang seru. Habis terpilih dan menyatakan kesediaannya menjadi presiden, Gus Dur kemudian berpidato terang-terangan menyebut nama Megawati menagar jadi wakilnya. Pernyataan Gus Dur ini pun kemudian terbukti terjadi.
Lalu apa yang dilakukan Gus Dur pada hari pertama setelah jadi presiden? Kala itu dia terpilih tengah malam di hari Jumat dini hari. Pelantikan akan dilangsungkan pada Jumat malam pada hari itu juga.
Nah, di tengah waktu menunggu pelantikan, beberapa jam sebelum pelantikan, usai waktu sholat Jumat, Gus Dur menemui Soeharto di rumahnya di Jl Cendana Menteng. Wartawan tentu saja langsung berkumpul di depan rumah itu menunggu kedatangan Gus Dur.
Benar saja, selepas pukul 13.OO Wib Gus Dur 'nongol' di rumah Pak Harto. Dia berjalan santai saja sembari diiringi ajudannya yang legendaris karena selalu memakai blankon, Al Zastrouw Ngatawi (sekarang di depan namanya sudah ada tambahan titel mentereng Doktor,red). Zastrouw dahulu adalah aktivis pers mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga. Semenjak mahasiswa dia sudah menulis di mana-mana.
Sesampai di sana Gus Dur langsung masuk. Para wartawan hanya menungguinya di luar. Mereka tak tahu apa yang keduanya bincangkan. Ketika pulang dengan dihantar Pak Harto di depan rumah, kepada wartawan Gus Dur hanya bicara sekilas sajja bila kunjungan itu merupakan silaturahim dan memberikan penghormatan karena Pak Harto adalah senior. Setelah itu dia tidak bicara apa-apa.
Misteri isi pertemuan Gus Dur dengan Pak Harto beberapa jam sebelum pelantikan dirinya sebagai presiden tersimpan rapat dalam waktu yang lama. Misteri ini perlahan terkuak dari cerita penjaga rumah ada pertemuan antara Gus Dur dengan Tommy Soeharto pada suatu sore. Sembari menunggu hasil pembicaraan keduanya --setelah peristiwa itu Tommy Soeharto menghilang karena dituduh terlibat pembunuhan seseorang-- penulis iseng bertanya kepada si-penjaga rumah Cendana kala itu tentang pertemuan Gus Dur dan Pak Harto sebelumnya.
Apa isi pertemuan Gus Dur dengan Pak Harto kala itu sih Pak? Mendengar pertanyaan itu si penjaga itu hanya tertawa pendek saja. Tertawanya dia jelas membuat pertanyaan. Membuat penasaran.
''Ayolah Pak cerita. Apa yang terjadi,'' tanya penulis.
''Ah gak ada apa-apa. Beneran. Gus Dur dan Pak Harto selama itu hanya saling tertawa-tawa saja."
''Lalu yang lucu memang ada,'' lanjut si penjaga.
''Apa itu?" tanya penulis penasaran.
"Iya, Pak Harto malah tanya: Gus apa sudah punya setelan jas untuk pelantikan nanti malam di Senayan?" kata dia menirukan pertanyaan Soeharto.
Menurut dia, ketika ditanya soal kelangkapan stelan jas untuk pelantikan Gus Dur sembari terkekeh menjawab ringan,"Ya belum to Pak,'' katanya.
''Lho mau dilantik presiden kok tidak punya jas."
"Punya uang gak?"
"Semua tidak punya pak. Ini beneran lho pak,'' tukas Gus Dur ringan.
Mendengar jawaban polos Gus Dur, Pak Harto pun tersenyum. ''Ya sudah saya panggilkan orang yang bikin jas,'' katanya ringan. Gus Dur pun menginyakan dan bersikap santai saja.
Di lain waktu soal dirinya yang tidak punya persiapan khusus kala hendak menjadi presiden persis dengan apa yang diselorohkan kepada mantan Presiden Soeharto sore itu.''Saya ini presiden bonek. Modalnya cuma nekad. Tak pernah pakai uang, tim sukses, atau apa. Tahu-tahu jadi saja,'' ujar Gus Dur diberbagai kesempatan. Yang mendengar seloroh Gus Dur mengenai 'bonek' tentu saja tertawa lepas. Gus bicara seperti itu lepas. Bebas dari sindrom 'jaga imej' karena merasa jadi seorang presiden.
Apa yang dikatakan Gus Dur kemudian terkonfirmasi kepada ujarannya yang 'ikonik': Gitu aja kok repot...!
Selain itu ada juga pernyataan Gus Dur yang ikonik soal Soeharto. Pernyataan ini dia katakan dalam wawancara di sebuah stasiun televisi: “Satu-satunya orang yang pantas menjadi musuh saya di negeri ini adalah Pak Harto. Itu pun saya masih berkunjung ke sana saat lebaran. Artinya, ya saya tidak punya musuh”.
Bener memang Gus? Gitu aja kok repot..!