Lagu Rumah Semut: Cerpen Dilema Orang Papua Di Perbatasan Merauke-PNG (Sota)
Katu melompat girang meluncur turun dari atas dahan jambu mete raksasa ketika melihat serombongan orang muncul dari balik gundukan rumah semut. ’’Om Diken!’’ teriaknya keras sembari berlari menghampiri seorang lelaki yang bercambang lebat dan berkulit hitam mengkilat. Keduanya segera berpelukan. Badan Katu yang mungil segera diangkat ke pundak Diken yang kokoh.
‘’Om bawa oleh-oleh apa?’’ tanya Katu. Diken hanya tertawa kecil saja. Dia malah mempercepat langkahnya sembari melompat-lompat menirukan gaya Kanguru. Katu tertawa kegirangan.
’’Om bawakan dompet kulit buaya. Dan tentu saja kulit kina untuk mamamu,’’ jawab Diken. Langkah Diken kini semakin cepat. Katu pun terus berteriak kegirangan. Sesampai di tugu perbatasan Sota, Merauke, rombongan berbelok menuju sebuah bangunan rumah kayu. Satu persatu mereka serahkan kartu pas jalan kepada petugas imigrasi untuk diperiksa. ‘’Siapa saja yang di rumah Katu?,’’ tanya Diken.
Gadis kecil berkulit keriting kemerahan kemudian menerangkan siapa saja anggota keluarganya yang berada di rumah. ’’Tinggal Papa sama mama. Om Martin tengah pergi ke hutan. Om Kelly kerja di Mimika,’’ sahut Katu. Diken kemudian mengangguk. Setelah urusan ‘paspor’ selesai, keduanya pun segera berjalan beriringan menyusuri jalanan beraspal kawasan hutan lindung Wasur. Katu berjalan dengan girang karena pamannya yang lama ditunggu-tunggu akhirnya datang.
Namun sesaat kemudian, Diken kembali menggendong keponakannya. Katu pun tak keberatan karena memang sudah merasa kecapaian. Bahu pamannya yang lebar dan kukuh kini beralih fungsi menjadi tempat duduk yang nyaman. Jalan yang membelah hutan Wasur terlihat memutih tertutupi debu dan tanah. Tapi kaki Diken yang kokoh tak peduli. Langkahnya tegap berjalan mendukung gadis kecil berambut keriting kehitaman. Kelompok rumah transmigran pertama telah terlewati.
Rumah Katu kini tak jauh lagi. Sesekali mobil melintasinya. Dan Katu pun selalu menyapanya sembari melambaikan tangannya. ‘’Bapak mau kemanakah?’’ Sopir sebuah jeep menyapa mereka. ‘’Mari saya antar bapak..’’
Diken dan Katu belum menjawab. Kedua pasang mata ini malah saling pandang. Namun sesaat kemudian Diken terlebih dahulu menggeleng. ‘’Ah terima kasih ipar. Sudah dekat,’’ jawab Diken.
Sopir jeep itu masih saja belum yakin. Dia masih berusaha meminta agar keduanya bersedia naik ke atas mobil. Tapi Diken tetap menolak. Dan Katu pun juga tak bersedia. ‘’Enakan digendong Om Diken dari pada naik mobil.’’
Mobil Jeep itu pun berlalu. Diken meneruskan langkahnya. Tubuhnya yang liat membuat Katu betah dalam panggulannya. Otot tubuh Diken yang bergumpalan di bagian punggung dan lengan memang telah menjadi tempat duduk yang empuk. Akibatnya, berada dalam panggulan Diken, maka Katu pun merasa seperti berjalan melayang. Ia pun kegirangan dan menyanyikan sebait lagu. ’’Ada pelangi di matamu..Ada pelangi di matamu..’’
Diken yang menggendong Katu tersenyum geli melihat lagu keponakannya. Katu pun mengulangi lagu itu dengan cara bersenandung. Desau angin serta bunyi derak pepohonan hutan mengiringi senandungnya. Hutan Wasur menjadi penuh warna.
‘’Itu lagu siapa Katu? Lagu orang Merauke kah?’’ Katu yang duduk di atas gendongan Diken segera menyahut.’’Lagu pak presiden Om. Lagu ini saya dengar di radio,’’ jawabnya.
Belakangan Katu selalu sibuk mendengarkan radio yang dibeli ayahnya di toko elektronik Merauke. Diken pura-pura tak mendengar jawaban itu. Dia meneruskan langkahnya. Tiba-tiba Katu meneruskan omongannya.
‘’Oh ya Om..Kemarin Om Martin juga bicara soal presiden..Katanya kitorang sebentar lagi punya presiden,’’ kata Katu. Om Diken tak menjawab. Malah dibenaknya kini terbayang sosok adik ketiganya yang merupakan adik dari ibu Katu itu. Tanpa sadar Diken kemudian menghela napas panjang. Sementara Diken sibuk dengan pikirannya, Katu sibuk dengan senandungnya.
Berbagai lagu dia nyanyikan sembari mengguncang-guncangkan tangan. Udara hutan Wasur menerbangkan alunan suaranya mengitari pepohonan, semak, menyerbuki bunga perdu, dan mengelus-elus lobang angin rumah semut. Di punggung Diken yang kokoh Katun merasa seperti tengah naik kapal terbang.
Setelah melewati pertigaan jalan, langkah mereka berbelok menuju sebuah rumah kayu bercat dan berpagar putih. Begitu sampai di depan pintu pagar Katu segera meloncat turun dari punggung Diken. Mulut mungil itu kemudian berteriak nyaring memanggil mamanya. Tapi tak ada jawab. Katu berulangkali memanggilnya. Tapi tetap tak juga ada jawaban. Hanya kesiur angin menerbangkan dedaunan dan debu ke atap rumah.
‘’Tidak ada orang Om. Mari masuk saja. Mungkin Mama ke warung,’’ kata Katu. Keduanya kemudian berbareng masuk ke rumah. Katu menyilahkan pamannya duduk dan pergi ke dapur mengambil minum. Diken meletakan barang bawaannya. Angin semilir masuk dari arah pintu. Diken melepaskan penat sembari meminum segelas air putih pemberian Katu.
‘’Rumah ini tak berubah,’’ guman Diken dalam hati. Dipandangi foto buram yang terpajang di dinding. Terlihat foto muda ayahnya tersenyum di bawah sebuah pesawat udara. Dua orang berseragam hijau berambut lurus mendampinginya. Samar di sudut foto tertulis angka tahun 1962. Diken kemudian menghela napas. Foto itu kini memuramkan mukanya.
****
Malamnya hari hujan turun dengan lebat. Tapi berbeda dengan suasa dingin yang ada di luar, rumah Katu kini terasa hangat. Lampu rumah berpendaran. Seisi rumah saling bercerita. ‘’Om Kelly kini kerja di Mimika. Katanya ikut kerja di tambang,’’ kata Ibu Katu.
Dia kemudian bercerita panjang lebar tentang adiknya. Katanya, Kelly kini sudah punya rumah dan sepetak tanah. ‘’Kelly itu orangnya rajin dan hemat. Anak itu berbakat kaya. Dia dulu pengin jadi pendeta. Yang pasti dia beda dengan sebagian orang asli Papua, yang ketika banyak uang tidur di pinggir jalan, sedangkan ketika uang tak ada malah tidur di rumah,’’ kata Mama Katu.
Diken mengangguk bahagia. Dia tak menyangka adiknya itu sudah bisa mandiri. ’’Sebentar lagi dia juga akan menikah,’’ tukas Mama Katu lagi. ‘’Sama siapa,’’ tanya Diken. ‘’Dengan orang Jawa,’’ jawabnya. Diken terhenyak sejenak. Tapi dia kemudian tertawa kecil. Setelah itu dia berseloroh,’’ Pasti Kelly kawin dengan orang Solo.’’ Diken berkata begitu sembari memandang ke arah Katu.
‘’Tapi Jawa bukan hanya Solo Om.’’ ‘’Lalu Jawa yang mana Apa yang dekat Jayapura itu..’’ ‘’Ah tak tak tahulah Yang jelas Jawa itu itu luas Dan yang jelas Indonesia.,’’ tukas Katu sembari merentang tangan mungilnya.
Dia kemudian bercerita mengenai pelajaran yang di dapat dari gurunya. Katanya, Indonesia itu dari Sabang yang ada di ujung barat, dan Meraueke yang ada di ujung timur.
‘’Pokoknya lebih luas dari Jawa..Lebiih luas dan jauuh dari Jayapura,’’ kata Katu. Katu tak bisa menerangkan apa yang dimaksud jauh. Yang penting gadis kecil itu kini mengaku pekan depan dia diminta sekolahnya menyanyi di tugu perbatasan Sota. Katanya, ada menteri yang akan datang ke sana. Katu menerangkan bahwa dia sudah hapal lagu itu.
‘’Lagunya Indonesia Raya,’’ terang Katu. ‘’Oh begitu,’’ tukas Diken pendek. Dia kemudian tersenyum dan bangga terhadap keponakannya. Apalagi setelah Mamanya Katu bercerita bahwa masih jarang anak sekolah di kampungnya bisa hapal lagu seluruh lagu itu. Yang dihapal beberapa kalimat di ujung bait itu saja yakni: Merdeka..Merdeka...! ‘’
Anak kampung itu lebih suka lagu Ada Pelangi di Matamu. Katanya itu lagu Pak Presiden,’’ ujar Mama Katu. Bersamaan dengan itu Katu pun mulai menyenandungkan lagu yang akan dinyanyikannya di depan pejabat negara. Diken, Mama Katu, dan Papa Katu, merasa haru dengan kepandaiannya. Tak terasa malam semakin larut. Semuanya bersiap tidur dengan iringan derai hujan dan senandung: Indonesia Raya.
*****
Semenjak kedatangan Diken, rumah Katu menjadi penuh warna. Selain suka bercerita Diken kerapkali mengajak keponakannya menyusuri lebatnya hutan Wasur. Diken dengan sabar menerangkan aneka tetumbuhan yang tumbuh di sana. Mulai dari pohon kayu putih yang dahannya tinggi meruncing, hingga berbagai macam anggrek hutan yang indah. Katu pun kegirangan ketika mendapati bunga anggrek yang berwarna hitam.
Tak lupa Diken memperkenalkan sebuah gundukan tanah, yang kerap disebut rumah semut. Katu pun takjub apalagi setelah tahu bahwa ‘bangunan’ tanah yang menjulang ajaib itu hasil karya binatang mungil, yakni semut. ‘’Semut itu membangun rumahnya sendirian paman,’’ tanya Katu sembari mengusapkan tangannya ke atas gundukan rumah semut.
Diken menjawabnya dengan menggeleng. ‘’Semut membangun secara bersama-sama. Pagi, siang, malam. Tak peduli panas atau hujan,’’ jawabnya.
Katu memandanginya rumah semut dengan penuh rasa takjub. Dibayangkannya besarnya pengorbanan para semut ketika membangun rumahnya ini. Semua bekerja keras, membangun sejengkal demi sejengkal, hingga bangunan menjulang. Karena takjub, Katu pun bersenandung menirukan dendang lagu anak kampung: Ada pelangi, ada pelangi di matamu.
Tak sadar, tiba-tiba hujan turun membasahi area hutan Wasur. Rumah semut pun kuyup tersiram air hujan, baju mereka juga basah. Tapi setelah itu di sebelah timur terbitlah selarik pelangi. Mata Diken dan Katu memandanginya dengan penuh rasa takjub. Apalagi ketika pelangi terlihat muncul dari balik pucuk daun kayu putih yang menjulang. Warna pelangi berbalut dengan warna merah saga anggrek hutan yang indah. Hutan Wasur berubah seakan menjadi rumah bidadari.
Kegembiraan itu berlanjut hingga keesokan pagi. Katu kini sudah berbaris di dekat tugu perbatasan Sota. Wajah mungilnya terlihat bersemangat dan percaya diri. Lagu Indonesia Raya sudah dihapalnya di luar kepala. Tak lama kemudian pejabat penting itu datang ke tempat itu. Teman-teman Katu menyambutnya dengan tepuk tangan.
Upacara penyambutan dimulai, Katu maju ke tengah barisan untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya. Katu pun menyangi dengan suara nyaring. Suara meliuk–liuk melingkari hutan Wasur. Hutan pun seakan mendingin. Mendadak angin sepoi bertiup. Daun jambu mete pun menggoyangkan badannya. Rumah semut pun dari kejauhan terlihat seperti memandangnya dengan bangga. Katu pun menyanyi dengan sepenuh rasa.
Tapi baru saja usai lagu didendangkan, sebuah mobil bersirene tampak melintas cepat dan berkelok di pertigaan. Orang-orang pun tak peduli. Tapi sesaat kemudian dari sudut matanya, Katu melihat pamannya Diken terlihat berlari tergopoh ke arahnya. Di tangannya tergenggam sebuah telepon selular.
‘’Katu pulanglah,’’ tukas Diken. Belum sempat menjawab, Katu sudah ditarik pamannya pulang. Dengan segera tubuh mungilnya pun di rengut dan diletakan ke atas pundak. Katu dibawa sang paman pulang dengan setengah berlari.
Benar saja, di depan rumahnya terlihat sibuk beberapa orang berpakain putih menurunkan sebuah jasad. Sang Mama menyambut dan segera membuka penutupnya. Setelah itu sang Mama berteriak keras sembari menangis,’’Kelly..Kellllly..Kellly.’’ Katu tak tahu apa yang terjadi.
Namun, sesat setelah diturunkan dari panggulan pamannya, sekilas ada seseorang berpakaian coklat mengatakan kepada ibunya, bahwa Kelli meninggal karena sebuah kecelakaan di Mimika. Secara perlahan tangan Katu kemudian digamit Diken mendekati jasad yang masih dalam peti mati. Terlihat wajah seorang lelaki muda yang tersenyum kecil. Dia terlihat begitu dingin.
‘’Kelly..Kelly..Kellly..,’’ ibu Katu terus berteriak sembari menangis keras-keras. Katu pun kini kebingungan. Tapi setelah melihat Diken menangis, dia pun ikut menangis. Air matanya bercucuran.
Dan di tengah derasnya air mata, seorang perempuan berbaju putih mendekati Diken. Dia hanya mengatakan, ada luka tembak di dada kiri dari sang jasad. Diken tak menjawab. Hanya kemudian terdengar suara tangisnya yang semakin nyaring.
Hujan tangis meliputi halaman rumah Katu. Tapi kini tak ada pelangi. Sebab, yang ada hanya air mata.
Tanjung Priok 2009
(untuk Wolaz Krenak)
--------------------------
Muhammad Subarkah, penulis dan jurnalis. Tulisan di muatdi Harian Suara Merdeka.