Kisah Bule Belanda Semasa Zaman Jepang Hidup Dalam Internaran di Sawah Besar Jakarta
Masa interniran orang-orang Belanda di jaman Jepang 1942-1945. Internier artinya hidup terasing di sebuah asrama. Yang hidup di situ unit-unit keluarg Belanda. Total bisa mencapai 50-60 orang.
Masa itu saya balita, lahir 2 Juli 1942, saya tidak mengalami, tapi di Kampung Baru dekat rumah saya di Sawah Besar ada internaat yang lokasinya berseberangan gang dengan rumah Tante Lili. Ia saudara Mak yang menikah dengan satrawan penulis cerita pendek angkatan 45, Idroes.
Buat orang Belanda yang biasa hidup enak memang azab tinggal di internaat. Segalanya harus mereka kerjakan sendiri. Biasanya ada beberapa orang baboe en boejang yang urus apa saja keperluan mereka di rumah.
Di Internaat mereka harus cuci pakaian dan menjemur sendiri. Setrika tidak ada. Di internaat biasa mevrouw en mejses kembenan. Inlander yang dahulu mereka perbudak tidak mentertawakan atau nyukurin. Paling-laing cuma larak lirik pas vrouwen kembenan.
Hidup dalam Interniran itu, kalau ada keperluan yang mau dibeli, mereka menyuruh orang kampung sekitar internaat. Interniran yang tak ada uang menjual pakaiannya atau barang yang mereka tak perlukan ke tukang loak. Di jaman Jepang tukang loak rejekinya lumayan.
Dalam pengasingan juga muncul cinta internaat. Kalau sekarang jodoh lewat internet.
Kemerdekaan RI 17 Agustus 45 akhirnya menyudahi era penderitaan internaat. Kesalnya kita, kemudian Sekutu masuk Indonesia secara illegal. Tahanan internaat mereka bebaskan lalu eks tahanan itu dipulangkan ke Holland.
Saya tak pernah baca atau dengar interniran disiksa Jepang. Tapi, giliran inlander bertemu di jalan dengan serdadu Dai Nippon yang sepertinya belum sarapan, wah berat. Manggut digaplok, tidak manggut digaplok juga. Bagero..!
*** Penulis: Ridwan Saidi, Politisi Senior, Sejarawan, dan Budayawan Betawi.