Ekonomi

Politik Kekuasaan dan Kemiskinan: Kisah Radikalisme di Jawa

Raja Pakubuwono X ketika berkunjung ke Masjid Luar Batang di Batavia pada tahun 1920.
Raja Pakubuwono X ketika berkunjung ke Masjid Luar Batang di Batavia pada tahun 1920.

Gerakan Radikalisme di Indonesia, mengacu data Badan Nasional Penanggulangan Teorisme (BNPT) para pelakunya banyak berasal dari daerah sekitar Solo, Jogjakarta, dan Jawa Tengah.

Fakta ini jelas mengundang keingintahuan untuk menelisik situasi yang menjadi penyebabnya. Dan ketika permasalahan ini ditanyakan kepada Guru Besar Sejarah Islam Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Prof DR Hermanu Joebagio MPD, ditemukan fakta mengejutkan bahwa aksi perlawanan terhadap kekuasaan adalah hal yang biasa bagi masyarakat tersebut. Bahkan, semangat ini sudah tumbuh hampir 800 tahun lamanya, semenjak era Sunan Gresik.

‘’Dari zaman dahulu kala selalu terjadi di kawasan tersebut. Yang pasti penyebabnya bukan ajaran pada agamanya, namun lebih karena adanya perasaan marginalisasi umat Islam yang dipinggirkan oleh sebuah sruktur kekuasaan,’’ kata Hermanu. Wawancara dilakukan di UNS Solo beberapa waktu lalu.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Penulis:Jadi begini Profesor kita bicara soal radikalisme di Islam Jawa. Belakangan ini ada data BNPT yang menyatakan, basis radikal itu Solo, Jogja, Boyolali, dan Jawa Tengah. Sebenarnya kalau dirunut itu dari mana asal usul radikalisme Islam di Jawa

Hermanu: Kalau kita melihat di beberapa literatur, proses Islamisasi itu ada beberapa proses radikal untuk merebut kekuasaan. Jadi ketika proses Islamisasi, orang Islam baik itu dari Arab maupun Cina, berusaha merebut kekuasaan dari orang pribumi. Itu awal radikalisme. Kemudian dalam perjalanannya, proses radikal terus berjalan. Ketika muncul kerajaan Demak. Kerajaan Demak itu ada proses radikalisasi ulama-ulama terhadap kelompok Syekh Siti Jenar, itu radikalisasi yang kedua.

Kalau saya merunut Syekh Siti Jenar, dia berasal dari Yaman, dan dia punya keagamaan yang begitu bagus tetapi dia tidak setuju bahwa ulama itu melakukan praktek politik kekuasaan. Itu tuh dia tidak setuju. Karena itu timbul suatu stigma terhadap Syekh Siti Djenar, bahwa Syekh Siti Jenar menganut dan menyebarkah filosofi wahdatul wujud. Nah itu yang kedua.

Kemudian yang ketiga, pada masa Sultan Agung, stigma terhadap orang suci kemudian dianggap sebagai proses radikalisasi. Nah itu yang paling berbahaya dalam konteks masa lalu, di mana elit itu selalu menstigma orang suci, ulama, melakukan gerakan yang kemudian disebut wahdatul wujud itu. Itulah yang kemudian saya anggap sebagai hal atau pemikiran paling bahaya.

Kenyataan tersebut (elite adalah pihak yang membuat stigma, red) bisa terlihat di dalam Serat Cebolek yang menceritakan mengenai bagaimana Kyai Haji Ahmad Mutamakkin itu distigma pihak kraton (kekuasaan) bahwa dia melakukan ajaran sesat. Jadi saya bisa menafsirkan itu stigma radikal itu justru muncul dari elite. Bukan dari tokoh agama. Nah yang konteks dari sekarang itu berbeda, justru radikal itu muncul dari bawah. Jadi pertanyaan saya ada persoalan apa ini...?

Penulis: Jadi sebelum sampai menyebar, selama ini selalu diklaim ajaran dakwah wali selalu damai. Tapi faktanya juga ada pertarungan kekuasaan di situ. Benarkah begitu?

Hermanu: Memang ada pertarungan kekuasaan.

Penulis: Jadi tidak sepenuhnya damai?

Hermanu: Justru pertarungan kekuasaan itu karena bahwa ulama-ulama itu mencari ruang agar proses Islamisasi bisa berjalan dengan lancar. Maka ruang itu berada di ruang politik. Nah ketika dia berada di ruang politik ada kelompok lain yang mengatakan itu tidak bisa, karena agama dan politik itu tidak bisa bersatu. Jadi itulah persoalan yang sebenarnya. Alhasil, kemudian dalam perjalanan selanjutnya, ulama dan politik itu selalu terpisah.

Dan yang juga menjadi aneh ketika itu adalah ulama itu justru membangun basis-basis politik di konteks lokal paling bawah. Jadi kemudian akan menjadi kesimpangsiuran yang luar biasa dalam konteks ini sehingga agama ini kemudian diseret-seret pada konteks politik.

Lalu benarkah begitu dalam ajarannya? Jawaanya itu sebenarnya tidak. Dalam praktik Rasulullah tidak menggunakan itu, tapi Rasulullah ketika menjadi penguasa, dia mencoba kehidupan ini mencoba menjadi lebih madani. Jadi melindungi orang kecil, melindungi kelompok minoritas, jadi itu yang harus dipikirkan.

Penulis Jadi yang dipertanyakan kami kemudian, kenapa proses radikal dulu itu berasal dari atas ke bawah sekarang bawah ke atas? Apa sebabnya? Apa masyarakat kita sakit?

Hermanu: Saya mengatakan begitu. Masyarakat kita menjadi sangat miskin. Orang-orang yang miskin itu pasti larinya ke sana. Hanya persoalannya, masyarakat yang kecil itu, yang miskin itu, kemudian dipermainkan oleh elit agama.

Hal inilah yang saya tidak bisa menerima persoalan ini. Kenapa justru masyarakat yang tak berdaya atau miskin, yang berada di tataran paling bawah itu malah tidak berusaha diberdayakan untuk menjadi manusia yang bermartabat. Itu persoalan-persoalan yang sekarang harus dipikirkan, dan negara sampai saat ini dalam konteks seperti ini tidak berpikir menuju ke sana.

Penulis: Kira-kira kapan proses radikalisasi Islam di Jawa tumbuh semakin nyata? Apakah bisa dikatakan semakin kuat ketika Jawa (Mataram Islam) di bawah kekuasaan Pakubuwono IV? Atukah sudah muncul dari era para penguasa sebelumnya?

Hermanu: Sebenarnya pemikiran dan sikap Sunan Amangkurat II itu hampir sama dengan Amangkurat I. Keduanya melihat bahwa kelompok agama, kemudian elit agama termasuk santri, itu yang menghalangi kekuasaan dia. Nah karena mereka dianggap menghalangi kekuasaan, maka para kiai (ulama) dan santrinya harus dibunuh.

Nah inilah yang menjadi persoalan-persoalan sebenarnya serta membuat riskan bagi kita. Pada masa Amangkurat II seluruh pusat-pusat keagamaan itu dihancurkan. Ini menunjukkan ketika dia menghancurkan pusat keagamaan secara tidak langsung dia menghancurkan pusat-pusat pendidikan, itu yang menjadi problem sangat serius.

Dan hancurnya pusat keagamaan itu terus berlanjut hingga masa Pakubuwono VI. Ketika dia melawan Belanda, kemudian pesantren-pesantren dihancurkan juga. Nah itulah yang kemudian yang bagi saya membuat suatu pertanyaan kenapa pemerintah tidak mencoba menyelesaikan permasalahan gerakan radikal ini dengan cara empowering, dengan capacity building. Padahal kedua hal itu perlu. Para ahli priskologi teroris menyatakan ketika kemudian ada seseorang dicuci otaknya, kemudian menuju garis lurus bersedia untuk melakukan kematian (bunuh diri), maka ketika sebelum itu terjadi si korban cuci otak itu kemudian dimasukkan ke suatu ruangan untuk dilakukan tindakan empowering dan capacity building, maka kemudian dia bisa menjadi manusia yang bermartabat.

Nah, sekarang kita memilih itu atau kita memilih menghancurkan mereka? Itulah persoalan-persoalan yang tidak bisa diselesaikan saat ini.

Terkait dengan munculnya perlawanan terhadap kekuasa, maka apakah kemudian gerakan radikal apa terus berlangsung dari masa ke masa? Misalnya apakah gerakan ini mempengaruhi suasana perang yang dilakukan Pangeran Diponegoro?

Hermanu: Ya akan terus berlangsung melintasi zaman selama ada bagian umat Islam yang termarginalkan. Teori mengatakan setiap episode akan muncul kelompok-kelompok itu. Kecuali ketika negara itu kuat dengan menggunakan kewenangan otoritarianismenya maka gerakan itu tidak akan muncul.

Namun, ketika negara ini sudah memilih menjadi negara yang demokrasi maka negara itu harus siap menghadapi kenyataan pahit ini. Nah sekarang, mindset yang dibangun negara terhadap warga negara itu tidak sesuai dengan harapan ketika dia membuka ruang demokrasi. Dan di sini saya harus jujur mengakui sebenarnya ruang demokrasi kita (Indonesia,red) belum siap.

Penulis: Jadi sebenarnya dalam sejarah Jawa gerakan radikal itu memang ada dari sononya?

Hermanu: Ya ada. Memang begitu dan selalu terus menerus akan ada. Karena itu saya mengatakan, sebenarnya wilayah Jogja-Solo dan sekitarnya (BNPT menyebut Jawa Tengah), yang dasarnya dari Solo itu adalah wilayah yang sangat radikal.

Kenapa kok begitu? Karena Syekh Siti Jenar, kelompoknya Syekh Siti Jenar itu dahulu tu berada di barat Solo, dan itu selalu dimainkan dalam konteks politik. Jadi kelompoknya Syekh Siti Jenar yang berada di barat Solo itu menjadi kekuatan untuk menguasai wilayah Jawa Tengah. Nah kemudian digunakan Sutan Hadiwijoyo (Sultan Pajang/Joko Tingkir, red)), dipakai kekuatan ini untuk bisa meraih kekuasaan-kekuasaan. ini permainan semua.

Dan yang menjadi persoalan sekarang apakah radikalisme ini mau dilestarikan sebagai bagian dari permainan, atau tidak? Itu yang harus kita pertanyakan kepada mereka, kepada beliau-beliau itu. Kalau ini bagian dari permainan mereka, jangan harap radikalisme itu akan berhenti."