Sejarah Islamofobia di Indonesia: Dari Konggres Pemuda I 1927 Hingga Kadrun di Era Milenial
Gerakan Islamofobia dalam sejarah dimulai pada tahun 1926 di Kongres Pemuda I yang diadakan di gedung Yahudi Vrijmetselarijweg. Seorang narsum wanita bernama SS (kemudian menjadi istri seorang tokoh penting) menyerang habis-habisan kehidupan Nabi Muhammad. Reaksi keras Islam berupa tantangan debat kepada SS. Terjadi debat terbuka di Jogja SS vs Agus Salim. SS terkapar. Gerakan Islamophobia senyap.
Islamophobia muncul kembali 1946 di Karesidenan Pekalongan berbentuk pembunuhan besar-besaran an terhadap orang Islam yang dilakukan komunis, berlanjut ke Sumatera Timur, lalu Madiun tahun 1948 yang dilakukan PKI terhadap muslimin. Total ratusan muslimin yang dibunuh secara keji.
Islamofobia muncul lagi tahun 1953 setelah PKI gerehabiliteerd (direhab Bung Karno). Gerakan anti Islam dilancarkan PKI sampai September 1965 dimana Gestapu/PKI meledug. PKI bubar, tapi gen mereka berkembang biak.
Dalam era Orde Baru dan reformasi, udara politik diliput emisi Islamophobia. Gen PKI nimbrung.
Adalah fakta dalam era Orde Baru-Reformasi ada yang ikut berrmain symphoni dalam partitur yang sama: Islamofobia. Slogan-slogan 'radikal radikul', tetoris Islam, Islam garis keras, kadrun, di hambur-hamburkan tiap hari. Disusul lagi dengan slogan moderasi kehidupan beragama.
Kalau diukur dari parameter ini ditambah lagi dengan pernyataan pihak resmi bahwa teroris dijamblah-jambleh ada 12 ribu, maka sulit menghindar dari kesan bahwa di Indonesia ada yang nge-fans Islamophobia.
Indonesia sudah tanda tangan resolusi PBB 15 Maret hari To Combat Islamophobia. To Combat itu artinya menyerang. Ini istilah PBB.
Hentikanlah Islamofobia, apalagi sudah banyak ummat yang sambut resolusi PBB a.l Sekjen Sarekat Islan Ferry Juliantono yang akan persiapkan desk resolusi 15 Maret. Mungkin dia diilhami anggota DPR USA Ilham Omar yang mengusulkan USA membuka kantor pemantau di seluruh dunia untuk memonitor tukang-tukang penghembus Islamofobia.
*** Penulis: Ridwan Saidi, Politisi Senior, Sejarawan, dan Budayawan Betawi.