Budaya

Ketika Nilai Tukar Padi Rendah: Petani Mati Di Lumbung Beras

i

Seorang buruh tani menghibur diri dengan cara memancing pada sebuah lahan sawah milik orang lain yang sedang banjir di masa panen. Banjir meremdam dan merusakkan tananam padi yang sudah siap panen.
Seorang buruh tani menghibur diri dengan cara memancing pada sebuah lahan sawah milik orang lain yang sedang banjir di masa panen. Banjir meremdam dan merusakkan tananam padi yang sudah siap panen.

Mungkin bagi orang kota atau buruh dan karyawan di kota, harga minyak goreng melangit tak jadi soal. Setidakdnya bukan masalah serius. Tapi ini berbeda bagi kalangan petani, yang kebananyakan dari mereka hanya buruh tani atau petani tanpa lahan.

Ketika mereka menengok di tayangan televisi bahwa harga minyak per dua kilogram sudah menyentuh di atas Rp 50.000 per kemasan 2 kilogram -- bahkan berita di TVRI kemarin sore di sebuah wilayah sudah mencapai Rp 75 ribu-- mereka jelas ketar-ketir. Bayangan buruk mereka segera melintas di depan mata. Apalagi sebentar lagi Ramadhan pasti akan butuh minyak goreng. Kelanggkaan dan mahalnya harga minyak goreng layalnya hantu drakula yang menyedut sumsum dan darah dirinya.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

''Saya gak tahu mas mau apa besok. Yang jelas hari ini anak saya merenek beli ponsel baru seserta pulsanya. Ini untuk sekolah. Pusing saya,'' kata Indra, buruh tani di kawasan pesisir selatan Jawa Tengah.

Bagi Indra membeli ponsel selular buatan Cina yang bagi orang kota diangga[p murahan, hal itu berbanding terbalik dengan anggapan dirinya. Sebab, mengelaurkan uang untk beli pnsel Cina seharga Rp 2-3 juta jelas benda yang sangat mahal, bahkan mewah. Uang sebesar itu bisa diperoleh dengan cara menjual semua pendapatan 'nderep' (memetik padi) selama masa panen ini.

"Kalaharga Rp 2,5 juta misalnya, berati menjual pendapatan buruh memetik padi selama panenan ini yang masa panennya sampai 15 hari. Maka saya terpaksa membelikan anak ponsel bekas asal bisa untuk sekolah yang pakai internet itu. Biaya itu belum termasuk ongkos beli pulsa,'' ujarnya.

Memang buruh tani seperti Indra dan jutaan orang yang senasib lainnya, harga komoditi hasil pertanian sangat tidak seimbang dengan kebutuhan sarana zaman milenial. Bahkan, bisa dikatakan nilai tukar petani dibandingkan dengan produk barang moderen, seperti ponsel, komputer, mesin cuci, dan lainnya tak sebanding atau malah sangat jomplang.

Yang paling celaka, tentu posisi para buruh tani terus dianggap tak penting bagi pihak yang mengambil kebijakan. Misalnya, memang ada kebijakan subsidi pupuk, tapi bagi para buruh tani tak penting lagi karena mereka tak punya lahan.

''Harga gabah atau beras memang tak bisa naik. Walapun bisa pun hanya sedikit. Pemerintah pun menjaganya agar pasokan beras stabil dengan banyak melakukan impor. Ya harga beras akan terus-terusan murah. Sedangkan orang seperti kami dapat subsidi seadanya. Saat ini beban semakin berat, anak saya yang sulung selepas sekolah SMP belum bekerja. Tak ada lapangan kerja kata orang pintar yang sering ngomong di televisi, Semakin pusing pokoknya," kata Indra yang seorang tamatan SMO dan pernah bekerja bertahun-tahun secara serabutan di berbagai kota.

Jadi, kalau elit ada yang mengkritik para ibu yang kebingungan mencari minyak goreng agar mengganti dengan cara memasak merebus makanan, bagi orang seperti India hanya membuat tertawa saja.''Padahal saya setiap hari sudah makan pakai nasi sayur dengan nasi serta sepotong tempe saja. Kami tak pernah punya makanan berlebihan. Celakanya ya itu minyak goreng dibiarkan mahal, harga beras sebagai komoditi petani tak boleh mahal. Bagi kami sih lucu saja omongan elit yang seperti itu,'' katanya.

Lalu apa solusisnya? Apakah ikut saran Karl Marx agar segera melakukan revolusi? Tentu bila berkaca pada Indra dan rekan buruh taninya kata 'revolusi' semakin asing dan musykil. Lagi pula tokh kalau terjadi revolusi yang berkuasa juga bukan mereka, tapi elit politik yang lain.

Dan di sini terbukti di era manapun di Indonesia, dari zaman Belanda sampai kini hampirr seabad meredja, nasib petani tak banyak berubah.Malah kian hari semakin miskin karena terjadi penyempitan (involusi) lahan pertanian.

Kenyataan ini menjadi masuk akal, generasi muda pedesaan tak mua jadi petani. Mereka banyak yang gelap nekad menjadi urban, meski di kota jadi pengamen atau buruh kasar.

"Penghasilan jadi pengamen lebih banyak dari pada bekerja 'nyangkul' dan 'nderep' padi di desa. Wajar kalau mereka pilih ke kota!,'' kata Fajar pemuda buruh tani lainnya yang kini mencoba jualan bakso di desanya.

Ya begitulah: Tenryata diam-diam para petani mulai mati di lumbung padi?