"That's what friends are for", dalam politik: Bagaimana Hindari Sakratil Maut kekuasaan?

Sejarah  
Aidit dan Bung Karno melambaikan tangan pada pesta akbar ulang tahun ke 50 PKI pada 23 Mei 1965.
Aidit dan Bung Karno melambaikan tangan pada pesta akbar ulang tahun ke 50 PKI pada 23 Mei 1965.

Foto di atas tampak DN Aidit, kiri, bersama Bung Karno, depan massa rapat umum PKI di Stadium Utama Senayan 23 Mei 1965. Bung Karno tak menyangka bahwa 4 bulan setelah ini ia tak jumpa lagi dengan Aidit, BK pun kemudian terjungkal dari kekuasaan)

And I never thought

I'd feel this way

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

And as far as I'm concerned

Tak pernah terpikir

Aku rasakan seperti ini

Sejauh seperti yang kuresahkan

Ini baris-barus pertama lyric lagu Dionne Warwick, That's What Friends Are For. Lyric yang manis untuk gambarkan suasana kejiwaan pejabat politik yang merasa akan ditinggalkan oleh kursinya. Beban kejiwaan jauh lebih ringan kalau hanya meninggalkan kursi.

Beberapa minggu setelah dilantik sebagai anggota DPR tahun 1977 saya bertemu dengan seorang politikus senior di lobby DPR. Ia berkata, "Ridwan sekarang saudara berada di gedung ini, suatu hari saudara akan pergi dari sini dengan sebab yang tak pernah saudara duga sebelumnya?"

Mungkin Pak Harto belum yakin ia akan diundurkan dari jabatan Presiden, tapi 14 orang menteri-menterinya sudah yakin beberapa minggu sebelum hari kejatuhan Pak Harto. 14 menteri itu nembuat pernyataan minta Pak Harto mundur. Tega ya?

Beberapa hari setelah Gestapu/PKI Bung Karno (BK) sudah merasa dia akan diundurkan. BK coba tampil seperti sedia kala, undang KAMI, undang HMI, dan menurut Machbub Djunaedi BK juga sering undang teman-teman dekatnya omon-omong di beranda belakang Istana Merdeka. Sekedar menikam waktu seraya omong segala tema.

Tidak ada keterangan BK pernah duduk bertiga tanpa omong-omong, yang seorang cengar cengir, yang dua lainnya pandangan mata kosong melompong.

BK beruntung punya teman-teman lama, kalau yang tak berteman akrab di masa lalunya sulit menghalau gundah gulana walau seketika.

Bagaimana menghindari diri dari sakratil maut kekuasaan?

Maka kita kembali pada nilai2 kepemimpinan yang normatif. Amanah, tidak berbohong apalagi membual, dalam bahasa Betawi jual koyo'. Mempunyai leadership, ini ada unsur genealogis, dan ada unsur pengalaman. Mempunyai kecakapan, yang bisa akademic sifatnya, dan bisa juga pengalaman. Dan pemimpin itu harus punya akar, jangan macam judi togeln, ada buntut tapi akar tak ada.

*** Ridwan Saidi, Politisi Senior, Sejawaran, Budayawan Betawi.

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image