Budaya

Sultan, King, dan Juragan: Ketika 'Flexing is Signaling' Menyasar Girah Ranah Ibadah

Model pakai jilbab masa kini. 'Nyunnah' tapi tetap pakai make up lengkap.
Model pakai jilbab masa kini. 'Nyunnah' tapi tetap pakai make up lengkap.

SENYAMPANG di gerbang bulan suci Ramadhan, serial tulisan “Sultan, King, dan Juragan” kali ini meneroka flexing di bidang keagamaan. Ingatan publik perlu disegarkan lagi bahwa flexing is signaling atau ‘cara pamer pesan tokcer’. Ada tiga jenis pesan yang biasanya ingin disampaikan yaitu: pengalaman, keahlian, dan pencapaian.

Ambil contoh seorang penggemar durian. Ke mana pun dia berjalan, akan disempatkannya mencari durian lokal yang diharapkannya bisa membuat sensasi rasa terlontar ke awan. Yang dilakukannya tak hanya testing, juga flexing. Tujuannya agar publik tahu bahwa dia sudah mengalami sendiri rasa durian lokal tersebut, bukan menurut pendapat orang lain.

Contoh lain seorang profesional yang sering bertemu klien, biasanya akan memajang ijazah dan sertifikat di ruang kerja untuk menunjukkan dirinya kompeten. Entah dokter, pengacara, arsitek, atau penata rambut. Ini signaling bertaut dengan keahlian yang patut.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Contoh berikutnya seorang penjelajah antartika, pendaki puncak dunia, atau penyelam dasar samudera, akan dengan bangga memamerkan lokasi di mana mereka berada. Ini signaling yang berhubungan pencapaian. Semua bentuk “ flexing is signaling” ini sah sebagai teknik persuasi terselubung ( covert persuation technique) karena tak ada misinformasi apalagi disinformasi yang lancung.

Masalah baru muncul jika signaling dilakukan melalui rangkaian trik heboh seperti dilakukan sepasang suami istri pemilik satu travel umroh. Lini masa media sosial mereka lebih banyak dijejali flexing pelesiran mereka ke tempat-tempat mewah, serta barang-barang supermahal yang mereka pakai bak ‘sultan dan sultanah’.

Padahal dari pengakuan ‘Sultan Umroh’ yang sempat viral, terendus muslihat sudah dirancang sejak awal. Perusahaan travel mereka sebenarnya tak punya program umroh ketika nekad ikuti sebuah tender terbuka. Modalnya? "Hanya berbekal baca-baca sejumlah literatur tentang umroh, kami beranikan diri presentasi, ternyata malah bisa menyisihkan pesaing yang sudah berpengalaman," ujar sang sultan yang ketika itu berusia 27 tahun.

Maka dirinya dan istri--usia setahun lebih muda--untuk pertama kalinya menjadi pemandu jamaah yang terdiri dari 127 pegawai Bank Indonesia dan 50 pegawai Pertamina. “Tak ada yang tahu kami suami istri. Tak ada juga yang tahu kami tak punya pengalaman umroh,” lanjutnya.

Mengapa mereka sembunyikan identitas sebagai pasangan suami-istri? Entahlah. Padahal mereka sudah menikah tujuh tahun sebelumnya, ketika masih sama-sama mahasiswa. Sayangnya, pernikahan itu alih-alih membuat mereka tambah semangat menyelesaikan kuliah justru membuat mereka menyerah. Hengkang dari kampus, memilih pesona dunia kerja yang membius. Suami bekerja di mini market, istri sebagai pegawai marketing alat kecantikan. Mereka juga jualan ponsel, seprai, cetak foto. Namun kehidupan tak berubah seperti yang diinginkan meski hampir sewindu perkawinan.

Nasib baik terjadi usai membawa jamaah umroh. Setelah keberangkatan rombongan pertama, tahun itu mereka bisa berangkatkan 800 orang jamaah. Tahun berikutnya, naik hampir lima kali lipat menjadi 3.800 jamaah. Nama travel mereka pun berkibar kencang. Mengapa? Karena harga paket jauh lebih murah dari travel lain, namun dengan fasilitas setara paket yang lebih mahal. Siapa yang tidak ngiler?