Sejarah Halal bi Halal: Dari Lebaran Betawi, Alal Bahalal, Hingga Silaturami Co dan No Co

Budaya  
sholat Idul Fitri di Betawi tempo dulu.
sholat Idul Fitri di Betawi tempo dulu.

Menurut organ (media) Muhammadiyah tahun 1929, silaturahmi Idul Fitri disebut Alal Bahalal. Saya tak paham artinya.

Menurut Dahlan Ranuwiharjo yang pada era revolusi berada di Jogja, istilah Halal bi Halal itu muncul menjelang silaturahmi di Istana Jogja tahun 1946 yang dihadiri oleh pihak 'coperasi (mau berundin) yang disebut 'co', dan pihak non coperasi (tak mau berunding), disebut 'non co', terhadap Belanda. Pihak yang berbeda pendapat itu bisa saling "menghalalkan" dan tidak saling mencerca sikap masing-masing demi persatuan.

Pada mulanya silaturahmi Idul Fitri itu berlangsung di pemakaman. Penduduk setelah sembayang Ied, lalu bertemu keluarga, terus langsung ke pemakaman. Masing-masing unit keluarga, terutama yang berjauhan tinggalnya, bertemu dan halal bi halal di pemakaman.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Kenapa di kalangan Betawi orang yang sudah meninggal didahulukan? Ini adat yang sudah berakar lama. Mereka katakan ruwahan: mengapresiasi arwah. Secara khusus ruwahan dibuat pada hari-hari di bulan Sa'ban menjelang Ramadhan.

Berdasar paham Betawi, orang meninggal itu bukan 'gedebongan' (batang) pisang.

Pemakaman ramai bukan saja tanggal 1 Syawal tapi juga sehari sebelum puasa yang disebut munggah puasa. Di hari munggah gadis-gadis diadatkan untuk mandi dan keramas.

Idul Fitri disebut lebaran, penutup puasa, Idul Adha disebut lebaran haji.

Puasa itu merupakan bahasa Swahili yang artinya tidak makan dan minum. Pada era pra Islam di Indonesia banyak pengikut tauhid Nabi Musa. Yang laki-laki disebut Saba, yang wanita Sebira. Mereka berpuasa 40 hari. Hari ke 41 disebut lebaran, penutup puasa.

Syekh Siti Jenar orang Saba yang pada VIII/IX M berpindah jadi Muslim, istilah orang pindah agama saat itu 'darugem'. Siti Jenar dikenal juga sebagai Syekh Darugem.

Ia berdiam di Bambu Jenar, kecamatan Teluk Pucung, Bekasi. Dan makamnya di Lemah Abang, Karawang.

Siti pada Siti Jenar artinya tanah. Ia memang dari Tanah Jenar, atau Bambu Jenar.

Kodifikasi hadist selesai abad III H. Karenanya Siti Jenar di masa hidupnya mengajarkan tauhid.

Sebelumnya, monotheisme diajarkan Syekh Yusha, Karawaci, Tangerang, dan Tuanku Raman, Batu Jaya, Karawang. Time frame: III - VI M. Makam-makamnya Masih ada dan terawat.

Kitab syariat yang terbit pertama ditulis oleh Abu Nashr al Samarkandi. Ia wafat di Jakarta tahun 983 M.

Abu Nashr, yang dikenal sebagai 'Mualim Teko', tidak hidup sejaman dengan Siti Jenar.

Pelanjut mereka di abad XI dan XII M adalah Dato Banjir, Pondok Gede, Dato Biru, Rawa Bangké, Mester, Dato Tonggara, Kramat Jati, Dato Mera dan Dato Ibrahim, Condet. Makam-makamnyanya masih ada dan terawat.

Demikianlah, narasi sejarah adalah logika, jika tak logis bukan sejarah!

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image