Kisah Krisis Pangan di Orde Lama
Setelah saya semalam tulis cerita soal kisah keluhan adiknya yang berada di pedalaman Kalimantan soal permintaannya meminta bantuan uang agar bisa membeli beras, sahabat saya yang juga jurnalis senior, Teguh Setiawan mengisahkan kisah kelangkaan beras di ibu kota pada dekade 1960-an. Dia mengalami situasi ini di masa kecilnya kala Jakarta beserta pinggiran kotanya masih sederhana dan agraris.
'' Kalau itu gue masih ngerasain makam bulgur, alias gandum. Kalo kebanyakan, gandum diberi untuk makanan ayam. Ayam makan nggak kira kira dan mati. Sebab gandum akan mekar jika terkena cairan. Gandum di tembolok ayam mekar, dan bikin tembolok pecah,' katanya terkekeh mengenangkan.
Dia mengaku saat itu di antre beras di warung Haji Saman. Namanya beras droping. Pembelian dibatasi. Hanya lima liter."Saat itu saya sudah tinggal di Cengkareng setelah sebelumnya tinggal di Kwitang. Yang antre beras kebanyakan pendatang, karena penduduk asli punya cadangan beras dari panen berlimpah."
Jadi di cengkarang kala itu masih banyak sawah. Panen masih satu kali. Jenis panen padinya padi gogo yang tanamanya setinggi orang dewasa. Setiap hari selalu ada pemandangan menari, yakni ibu-ibu mengenakan kutang dengan payudara gobal-gabel menumbuk beras.
"Jadi, yang terancam kelaparan saat itu penduduk kota. Di pinggir Jakarta, seperti di Cengkareng, yang kelaparan juga orang pindahan dari kota,'' ujarnya.
Maklum saja, Cengkareng saat itu adalah tempat pembuangan akhir orang tergusur dari.kampung kampung yang saat ini menjadi Jl Thamrin dan Sudirman. Jadi di sana banyak orang korban gusuran akibat pembangunan kota Jakarta."Keluarga saya bukan gusuran. Karena bapak dapat kerjaan di Cengkareng, ya keluarga pindah. Cengkareng kosong melompong, dengan penduduk terkonsentrasi di seutas kali peninggalannya politik etis Van Deventer."
Khusus untuk kali buatan peninggalan Van Deventer itu bernilai khusus. Ini karena kali ini saat itu membelah Cengkareng menjadi duakomunisas yang berbeda latar belakang. Penduduk setempat menyebutnya sebagai kali pengaairan karena memang kali buatan. "Nggak ada nama resmi. Kami menyebutnya Kali Rawa Bengkel. Kali dibangun bersamaan dengan pembangunan Pintu Air Sepuluh Tangerang 1917-1927. Kini kali menghitam, berubah fungsi menjadi got, akibat perubahan fungsi lahan."
Akibat kali ini pembeahannya seperti ini. Di sebelah selatan kali adalah dihuni para pendatang. Pada Sebelah utara penduduk asli. Yang krisis pangan di utara. Di selatan makan beras pera dari karung bertuliskan Saigon. Di utara, penduduk makan beras pulen yang 'uenak' tenan.
"Kami menyebutnya beras bantuan itu sebagai beras Saigon. Di kampung itu nggak ada yang tahu apa itu Saigon. Beda dengan bapak saya tahu Saigon itu nama ibu kota Vietnam Selatan. Kini bernama Ho Chi Minh City. Nah, karena itu penduduk seberang kali, alias utara, mencibir kami yang makan beras Saigon. Yah, nasib,'' ujarnya sembari terkekeh lagi.