Budaya

Perpanjangan Masa Jabatan: Lurah Apakah Masih Jabatan Pengabdian di Desa? Atau Cari Kekayaan?

Sosok lurah di masa lalu.
Sosok lurah di masa lalu.

Di masa lalu, di zaman desa masih dilagukan dengan merdu oleh Koes Plus sebagai tempat kembali, tempat tinggal yang sunyi, ada petani mengembala ternak dan membajak sawah hingga gadis desa yang lugu dan manis, kini apakah masih tersisa kenangan itu. Kalau desa di Jawa, tampaknya makin sulit didapat. Sebagian besar penduduknya sudah padat. Bahkan semenjak tahun 2000-an desa di Jawa sudah bisa dikatakan sebagai kota. Sebagian besar dialiri listrik. Bangunan rumah hampir taka da lagi yang terbuat dari bambu atau papan. Bahkan di masa kini, desa-desa di Jawa sudah dilengkapi dengan jaringan kabel interet yang bisa diakses dengan cara berlangganan.

Gambaran masa lalu desa di Jawa, seperti dalam film-film klasik bahwa peran lurah sangat istimewa sudah jauh berkurang. Di masa kini tak ada perbincangan soal ‘munculnya cahaya ndaru (putih) setiap kali terjadi ajang pemilihan kepala desa. Cahaya ‘ndaru’ atau pulung yang dipercaya terbang di langit malam laksana bintang alihan, sudah tak tampak dan penting lagi dibicarakan. Cahaya ‘ndaru’ di langit malam kini kalang terang dengan pijar geriap lampu listrik.

Maka hubungan sosial di desa, yakni antara lurah (sebagai raja kecil), priyayi (elit desa), dan kawula (warga biasa) sudah berubah drastis. Lurah tidak lagi bisa lagi menganggap dirinya dengan terminologi kekuasaan klasik Jawa saja, yakni konsep ‘Dewa Raja’ (penguasa adalah wakil dari kekuatan mistis), sedangkat rakyat tak lagi menganggapnya bahwa lurah adalah orang yang berkuasa penuh atas eskistensi dirinya.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Lurah oleh rakyat sudah dianggap lebih setara, bahkan di masa kini lurah menjadi sekedar ‘pelayanan rakyat’. Demokratisasi di desa ini pada era milenial di dukung oleh perangkat baru yakni penetrasi internet dan handphone. Rakyat desa makin sadar atas haknya karena meresa sama-sama dapat mengakses informasi. Lurah hanya sekedar menjadi penjaja ide program pemerintahan, bukan lagi sebagai raja (penguasa) dari progam pembangunan.

Maka, bila film-film hari ini masih menggambarkan nuansa lurah sebagai simbol kekuasaan yang mutlak dan mistis bagi warga desa, dalam berbagai versinya seperti film laris KKN di Desa Penari misalnya, itu memang sukar dicari jejaknya di lapangan. Dan ini dimaklumi karena film itu harus mengeplotasi hal-hal lain, bahkan di masa lalu, agar menjadi tontonan yang menarik. Karena apa? Segala jimat dan mantra sudah publik ketahui dan tersebar luas. Makanya kemistisan posisi lurah seperti di masa lalu hanya ‘gugon tuhon’ kepercayaan tahayul yang terus dipelihara. Tujuannya cuma satu yakni untuk kepentingan material.

Jadi di masa kini hubungan lurah dan warganya di desa sudah tak lagi merupakan ‘boundry’ (batas) yang tak tertembus. Ini bedanya dengan persepsi lurah di masa lalu. Lurah dan warganya tak bisa memandang posisi dirinya masing-masing melalui sistem simbol dominasi-subordanasi, patron klien. Bahkan kini budaya lama, yakni budaya affirmative sebagai budaya pendukung kekuasaan, telah digantikan dengan hadirnya budaya critical, yakni budaya yang cenderung atau kritis kepada dominasi kekuasaan. Dengan kata lain, sudah muncul secara kuat budaya tandingan (counter culture) di masyarakat desa.

Maka, bila kini muncul lagi di film bahwa lurah punya kekuasaan dan pengaruh mistis yang luar biasa, juga bisa dipandang sebagai situasi kritik yang terjadi di masa kini mengenai peran lurah itu. Apalagi film pada hakikatnya adalah bayangan atau gambaran diri dari keadaan sosial. Cuma bedanya film dan juga media budaya lain, kerapkali menggunakannya simbolisasi kritiknya dengan memakai idiom terbalik. Film bagaimanapun adalah jejak sebuah masa lalu dari sebuah bangsa sekaligus bisa dipakai sebagai ajang cermin diri dan sosial kita. Melalui film mengenai sosol lurah di masa kini, sebenarnya ingin mengatakan dominasi simbolis dan aktual dari kekuasaan lurah sudah sangat berubah.