Sejarah

Ada Kebohongan Sejarah 20 Mei Sebagai Hari Kebangkitan Nasional!

Gambar: Tokoh Pendiri Perhimpunan Indonesia.
Gambar: Tokoh Pendiri Perhimpunan Indonesia.

Oleh: Batara R. Hutagalung, Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Sejarah

Pendahuluan:

“Bangsa yang tidak kenal sejarahnya juga kehilangan identitas atau kepribadiannya.” Prof. Sartono Kartodirjo, Guru Besar Ilmu Sejarah (15.2.1921 – 7.12.2007)

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Penulisan sejarah di buku-buku sekolah di Indonesia yang terbit sejak tahun 1950-an, selain banyak yang hanya merupakan terjemahan dari buku-buku sejarah bahasa Belanda dan bahasa Inggris, para mantan penjajah, juga banyak yang merupakan hasil rekayasa, manipulasi bahkan pemalsuan sejarah.

Hal ini mengakibatkan, generasi sekarang tidak lagi mengetahui sejarah Indonesia dan sejarah “pra” Indonesia yang sebenarnya. Rekayasa dan manipulasi tersebut antara lain mengenai “Kebangkitan Nasional” 20 Mei 1908. Rekayasa menetapkan tanggal 20 Mei melalui Keputusan Presiden No. 316 Tahun 1959 sebagai “Hari Kebangunan nasional” yang kemudian diganti menjadi “Hari Kebangkitan Nasional”, tanpa adanya kajian akademis dari para pakar sejarah, melainkan hanya penilaian beberapa politisi.

Sampai tahun 1956, Indonesia belum memiliki seorangpun yang memperoleh pendidikan ilmu sejarah. Sartono Kartodirjo adalah orang Indonesia pertama yang mendapat gelar Sarjana Ilmu Sejarah tahun 1956, dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Sebagai bangsa yang baru “lahir” pada 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia belum memiliki jatidiri (karakter) yang dapat dinamakan sebagai jatidiri bangsa Indonesia. Yang ada adalah jatidiri sebagai orang Aceh, atau sebagai orang Ambon, atau sebagai orang Batak, atau sebagai orang Jawa, dan sebagainya.

Oleh karena itu diperlukan simbol-simbol persatuan dan tokoh-tokoh dari berbagai daerah untuk ditonjolkan sebagai “Pahlawan Nasional.” Namun peristiwa-peristiwa yang ditonjolkan sebagai gerakan kebangsaan, persatuan, perjuangan dan beberapa tokoh yang ditonjolkan sebagai “Pahlawan Nasional” tidak tepat, bahkan salah.

Akibatnya, penulisan sejarah sangat banyak yang merupakan hasil rekayasa, manipulasi, bahkan pemalsuan- pemalsuan untuk kepentingan politik penguasa. Banyak peristiwa-peristiwa yang keliru ditonjolkan sebagai “pemersatu” antara lain “Sumpah Sriwijaya,” Sumpah Palapa Gajah Mada,” Sumpah Pemuda,” dll., yang merupakan hasil rekayasa atau “diplintir” terjemahan dan peristiwanya.

Tahun 1948, ketika Presiden Sukarno menyampaikan niatnya untuk menetapkan hari berdirinya Budi Utomo tanggal 20 Mei 1908 sebagai “Hari Kebangunan Nasional,”(1) banyak pelaku sejarah yang tidak setuju, termasuk Raden Mas Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) yang pernah menjadi anggota Budi Utomo dan kemudian keluar dari Budi Utomo. Suwardi Suryaningrat juga pernah menjadi Ketua Perhimpunan Indonesia di Belanda. Oleh karena itu, mereka sangat mengetahui bahwa Budi Utomo bukan gerakan kebangsaan, melainkan tujuan didirikannya adalah mengusahakan biaya pendidikan lanjutan hanya untuk putra- putra bangsawan golongan rendah dari etnis Jawa dan Madura.

Sudah cukup banyak pakar-pakar sejarah, para Guru Besar Sejarah seperti Prof. Sartono Kartodirdjo, Prof. Ahmad Syafii Maarif dan Prof. Taufik Abdullah yang telah menulis mengenai kekeliruan-kekeliruan dan kesalahan-kesalahan dalam penulisan sejarah baik di buku-buku untuk sekolah-sekolah, maupun untuk umum.

Pada waktu penyusunan buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI), ketika menyusun jilid VI, Sartono mengundurkan diri karena tidak setuju dengan isi buku yang dinilainya merupakan penyimpangan penulisan sejarah. Sebelum Prof. Sartono mengundurkan diri, Prof. Taufik Abdullah, telah terlebih dahulu mengundurkan diri dari tim penyusun Sejarah Nasional Indonesia. Bahkan kabarnya, Prof. Deliar Noor “dipaksa” untuk mengundurkan diri.

-------------------

(1) Sekarang dinamakan sebagai “Hari Kebangkitan Nasional.”