Budaya

Demit dan Makhluk Halus Dalam Dunia Batin Orang Jawa


Ada sejumlah punden semacam itu di daerah Mojokuto; di berbagai pohon yang sangat besar atau berbentuk aneh, di berbagai reruntuhan Hindu yang tersebar di sana-sini. Akan tetapi, yang paling terkenal, paling sering dipuja dan dianggap paling berkuasa, adalah makhluk halus yang tinggal di pusat kota Mojokuto, di pinggir alun-alun, namanya Mbah Buda, yang secara harfiah berarti “Kakek Buddha”, tetapi “Buddha” di sini tidak merujuk ke “Gautama”. Ia hanya menunjuk pada kenyataan bahwa tempat tinggalnya yang keramat ditandai dengan sebuah peninggalan Hindu-Buddha.

Tempat keramat itu, ditutup dengan pagar putih yang kuat, terletak di kaki sebuah pohon beringin yang lebat dan terdiri atas patung Ganesha—dewa kebijaksanaan agama Hindu yang berbentuk gajah—berukuran kecil dan setinggi kaki. Ada sebuah kisah tentang tempat itu. Dahulu kala, “pada zaman Buddha”, Sultan Solo, ibukota kerajaan Jawa Tengah, sedang berperang dengan raja Madura. Sultan Solo menang dan mengejar raja Madura yang melarikan diri, ke arah utara serta timur, ke tempat asal raja Madura.

Dalam perjalanannya, ia singgah di Mojokuto, yang waktu itu masih berupa hutan dan terletak di antara kedua kerajaan itu, untuk memberi kesempatan istirahat kepada prajurit-prajuritnya. Dari kejadian itulah kota yang dalam buku ini disebut Mojokuto memperoleh namanya—nama sesungguhnya konon diambil dari bahasa Jawa Kuno yang berarti “tempat istirahat”-dan tempat keramat itu—karena raja meninggalkan patung Ganesha di situ untuk menandai tempat di bawah pohon beringin besar di mana ia beristirahat.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Namun, bagaimanapun asal-usulnya, yang jelas patung Ganesha itu sekarang dihuni oleh demit. Patung itu pernah dipindahkan ke Bragang, kurang lebih 24 kilometer jauhnya, tetapi ia kembali dengan kekuatannya sendiri. Pada sebuah kejadian lain, seorang kontrolir Belanda (pejabat Eropa paling bawah dalam birokrasi kolonial) yang ditugaskan di Mojokuto memukul patung Ganesha itu—tentu untuk menghina alat peribadatan para penyembah berhala—tetapi satu minggu kemudian, ia meninggal dengan leher patah. Dan dalam jangka waktu satu tahun, semua keluarganya menyusul ke alam baka.

Kalau seseorang menginginkan Mbah Buda mengabulkan hajatnya, ia harus pergi ke tempat keramat itu—sekalipun beberapa mengatakan bahwa orang bisa melakukannya di rumah—meminta pengampunan serta maaf dari demit itu dan beijanji akan mengadakan slametan untuk menghormati demit itu apabila permohonannya dikabulkan.

Apa yang sangat penting bagi keberhasilan permohonan itu adalah mengharap dengan sungguh-sungguh, memohon dengan pikiran tunggal dan tak tergoyahkan serta tidak memikirkan hal lain sampai permohonannya dikabulkan.

Seorang pemohon membandingkannya dengan tangisan anak kecil yang menginginkan sesuatu: “Tetapi Anda tidak menangis di luar, Anda menangis di dalam, di hati Anda; Anda hams betul-betul menginginkannya seolah-olah Anda akan mati kalau permohonan Anda tidak dipenuhi; kalau keinginan Anda begitu kuat dan begitu lama, maka hampir dapat dipastikan keinginan Anda itu akan terpenuhi”.

Yang biasa diinginkan orang adalah pulihnya kesehatan dirinya atau keluarganya, atau mungkin untuk menemukan sebuah benda yang hilang atau meminta keselamatan seseorang dalam perjalanan yang memakan waktu lama. Ada perbedaan pendapat tentang bisa tidaknya orang mengharapkan hal-hal seperti menang judi, meminta gong baru untuk orkes gamelannya, atau agar cintanya pada isteri orang lain kesampaian.

Beberapa orang berpendapat bahwa Mbah Buda hanya mempertimbangkan permohonan yang serius; tetapi jelas orang terkadang meminta berkah yang agak kurang mulia;

Dalam hubungannya dengan hal ini (masalah perceraian) Sutinah (informan) menceritakan kepada saya tentang suatu waktu tatkala ia melakukan slametan untuk Mbah Buda ketika kakak perempuannya masih terikat perkawinan dengan suaminya yang kedua dan ia mengatakan kepada kakak perempuannya itu: “Kalau kau bisa memperoleh perceraian tanpa banyak kesulitan dan segalanya mudah serta lancar, saya akan mengadakan slametan untuk Mbah Buda”.

Kemudian, setelah perceraian, ia mengadakan slametan dan mengirimkan sebagian (makanan) kepada kakak perempuannya, disertai dengan catatan bahwa slametan ini diadakan untuk kau-tahu-sendiri lah.