Belanda Kembalikan Jarahan Artefak Budaya ke Indonesia, tapi Manusia Jawa Belum Boleh Pulang Kampung
Pemerintah Belanda, Kamis 7 Juli, mengumumkan rencana mengembalikan 478 artefak budaya kepada Indonesia dan Sri Lanka. Namun fosil Manusia Jawa gagal pulang kampung.
"Ini momen bersejarah. Kali pertama, berdasarkan saran dari Dewan Penasihat Pengembalian Benda Budaya dari Konteks Kolonial, kami mengembalikan benda-benda yang seharusnya tidak pernah ada di Belanda," kata Gunay Uslu, Menteri Kebudayaan dan Media Belanda.
Situs theartnewspaper.com memberitakan artefak asal Indonesia yang dipulangkan terdiri dari 335 benda dari Lombok dan koleksi utama seni modern Bali. Namun, menurut juru bicara pemerintah Belanda kepada Guardian, fosil manusia Jawa tidak termasuk artefak yang dikembalikan ke Indonesia.
"Beberapa artefak butuh waktu lebih lama dari yang lain," kata juru bicara pemerintah Belanda.
Fosil manusia Jawa yang ditemukan di Trinil, Ngawi, tahun 1891, masih menjadi obyek penelitian. Pada awal penemuan, Eugene Dubois -- pemimpin tim yang menemukan fosil itu -- memberi nama Pithecanthropus erectus, yang artinya manusia kera dapat berdiri.
Namun, Dubois gagal menemukan lebih banyak fosil Pithecanthropus erectus. Ia hanya menemukan tempurung dan tiga, tulang paha aas, dan tiga gigi. Fosil temuan Dubois itu masih tersimpan di salah satu museum di Belanda.
Fosil lebih lengkap ditemukan di Desa Sangiran, Kabupaten Sragen, oleh Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald -- ahli paleontologi dari Berlin -- tahun 1936. Selain fosil manusia purba, ditemukan pula beberapa fosil lainnya.
Belum ada respons dari pemerintah Indonesia soal belum dikembalikannya fosil Manusia Jawa. Yang pasti sebuah acara penyerahan Harta Karun Lombok akan digelar di Museum Volkenkunde di Leiden pada 10 Juli.
Belanda menjarah artefak budaya Lombok sekitar 1891-1894, atau selama dan setelah Perang Lombok. Belanda terlibat dalam Perang Lombok, menurut sejarawan Belanda, setelah Suku Sasak meminta bantuan untuk mengalahkan Kerajaan Mataram.
Penjarahan terhadap koleksi utama seni modern Bali terjadi setelah penaklukan Pulau Dewata 1908, atau setelah kerajaan terakhir melakukan puputan. Perang Bali nyaris menewaskan semua bangsawan, dan menyisakan karya seni bernilai tinggi.