Kisah dari Sota, Perbatasan Papua: Lagu Rumah Semut, Ada Pelangi di Matamu?
Belakangan Katu selalu sibuk mendengarkan radio yang dibeli ayahnya di toko elektronik Merauke. Diken pura-pura tak mendengar jawaban itu. Dia meneruskan langkahnya. Tiba-tiba Katu meneruskan omongannya.
‘’Oh ya Om..Kemarin Om Martin juga bicara soal presiden..Katanya kitorang sebentar lagi punya presiden,’’ kata Katu.
Om Diken tak menjawab. Malah dibenaknya kini terbayang sosok adik ketiganya yang merupakan adik dari ibu Katu itu. Tanpa sadar Diken kemudian menghela napas panjang.
Sementara Diken sibuk dengan pikirannya, Katu sibuk dengan senandungnya. Berbagai lagu dia nyanyikan sembari mengguncang-guncangkan tangan.
Udara hutan Wasur menerbangkan alunan suaranya mengitari pepohonan, semak, menyerbuki bunga perdu, dan mengelus-elus lobang angin rumah semut.
Di punggung Diken yang kokoh Katun merasa seperti tengah naik kapal terbang.
Setelah melewati pertigaan jalan, langkah mereka berbelok menuju sebuah rumah kayu bercat dan berpagar putih. Begitu sampai di depan pintu pagar Katu segera meloncat turun dari punggung Diken.
Mulut mungil itu kemudian berteriak nyaring memanggil mamanya. Tapi tak ada jawab. Katu berulangkali memanggilnya. Tapi tetap tak juga ada jawaban. Hanya kesiur angin menerbangkan dedaunan dan debu ke atap rumah.
‘’Tak ada orang Om. Mari masuk saja. Mungkin Mama ke warung,’’ kata Katu.
Keduanya kemudian berbareng masuk ke rumah. Katu menyilahkan pamannya duduk dan pergi ke dapur mengambil minum. Diken meletakan barang bawaannya.
Angin semilir masuk dari arah pintu. Diken melepaskan penat sembari meminum segelas air putih pemberian Katu.‘’Rumah ini tak berubah,’’ guman Diken dalam hati.
Diken kemudian pandangi foto buram yang terpajang di dinding. Terlihat foto muda ayahnya tersenyum di bawah sebuah pesawat udara. Dua orang berseragam hijau berambut lurus mendampinginya.
Samar di sudut foto tertulis angka tahun 1962. Diken kemudian menghela napas. Foto itu kini memuramkan mukanya.