Kisah dari Sota, Perbatasan Papua: Lagu Rumah Semut, Ada Pelangi di Matamu?
Semenjak kedatangan Diken, rumah Katu menjadi penuh warna. Selain suka bercerita Diken kerapkali mengajak keponakannya menyusuri lebatnya hutan Wasur.
Diken dengan sabar menerangkan aneka tetumbuhan yang tumbuh di sana. Mulai dari pohon kayu putih yang dahannya tinggi meruncing, hingga berbagai macam anggrek hutan yang indah.
Katu pun kegirangan ketika mendapati bunga anggrek yang berwarna hitam.Tak lupa Diken memperkenalkan sebuah gundukan tanah, yang kerap disebut rumah semut. Katu pun takjub apalagi setelah tahu bahwa ‘bangunan’ tanah yang menjulang ajaib itu hasil karya binatang mungil, yakni semut.
‘’Semut itu membangun rumahnya sendirian paman,’’ tanya Katu sembari mengusapkan tangannya ke atas gundukan rumah semut.
Diken menjawabnya dengan menggeleng.‘’Semut membangun secara bersama-sama. Pagi, siang, malam. Tak peduli panas atau hujan,’’ jawabnya.
Katu memandanginya rumah semut dengan penuh rasa takjub. Dibayangkannya besarnya pengorbanan para semut ketika membangun rumahnya ini. Semua bekerja keras, membangun sejengkal demi sejengkal, hingga bangunan menjulang.
Karena takjub, Katu pun bersenandung menirukan dendang lagu anak kampung: Ada pelangi, ada pelangi di matamu.
Tak sadar, tiba-tiba hujan turun membasahi area hutan Wasur. Rumah semut pun kuyup tersiram air hujan, baju mereka juga basah. Tapi setelah itu di sebelah timur terbitlah selarik pelangi.
Mata Diken dan Katu memandanginya dengan penuh rasa takjub. Apalagi ketika pelangi terlihat muncul dari balik pucuk daun kayu putih yang menjulang. Warna pelangi berbalut dengan warna merah saga anggrek hutan yang indah. Hutan Wasur berubah seakan menjadi rumah bidadari.