Kisah dari Sota, Perbatasan Papua: Lagu Rumah Semut, Ada Pelangi di Matamu?
Derai tawa dan suka cita itu berlanjut hingga keesokan pagi. Katu kini sudah berbaris di dekat tugu perbatasan Sota. Wajah mungilnya terlihat bersemangat dan percaya diri.
Lagu Indonesia Raya sudah dihapalnya di luar kepala. Tak lama kemudian pejabat penting itu datang ke tempat itu. Teman-teman Katu menyambutnya dengan tepuk tangan.
Upacara penyambutan dimulai, Katu maju ke tengah barisan untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Katu pun menyangi dengan suara nyaring. Suaranya meliuk–liuk melingkari hutan Wasur. Hutan pun seakan mendingin. Mendadak angin sepoi bertiup. Daun jambu mete pun menggoyangkan badannya.
Rumah semut pun dari kejauhan terlihat seperti memandangnya dengan bangga. Katu pun menyanyi dengan sepenuh rasa.
Namun, baru saja usai lagu didendangkan, sebuah mobil bersirene tampak melintas cepat dan berkelok di pertigaan. Orang-orang pun tak peduli. Tapi sesaat kemudian dari sudut matanya, Katu melihat pamannya Diken terlihat berlari tergopoh ke arahnya. Di tangannya tergenggam sebuah telepon selular.
‘’Katu pulanglah,’’ tukas Diken. Belum sempat menjawab, Katu sudah ditarik pamannya pulang. Dengan segera tubuh mungilnya pun di rengut dan diletakan ke atas pundak.
Katu dibawa sang paman pulang dengan setengah berlari.Benar saja, di depan rumahnya terlihat sibuk beberapa orang berpakain putih menurunkan sebuah jasad. Sang Mama menyambut dan segera membuka penutupnya.
Setelah itu sang Mama berteriak keras sembari menangis,’’Kelly..Kellllly..Kellly.’’
Katu tak tahu apa yang terjadi. Namun, sesat setelah diturunkan dari panggulan pamannya, sekilas ada seseorang berpakaian coklat mengatakan kepada ibunya, bahwa Kelli meninggal karena sebuah kecelakaan di Mimika.
Secara perlahan tangan Katu kemudian digamit Diken mendekati jasad yang masih dalam peti mati. Terlihat wajah seorang lelaki muda yang tersenyum kecil. Dia terlihat begitu dingin.
‘’Kelly..Kelly..Kellly..,’’ ibu Katu terus berteriak sembari menangis keras-keras. Katu pun kini kebingungan. Tapi setelah melihat Diken menangis, dia pun ikut menangis. Air matanya bercucuran.
Dan di tengah derasnya air mata, seorang perempuan berbaju putih mendekati Diken. Dia hanya mengatakan, ada luka tembak di dada kiri dari sang jasad.
Diken tak menjawab. Hanya kemudian terdengar suara tangisnya yang semakin nyaring. Hujan tangis meliputi halaman rumah Katu. Tapi kini tak ada pelangi. Sebab, yang ada hanya air mata.
*Tanjung Priok 2009
Untuk Wolaz Krenak
(Cerpen ini pernah dimuat di Harian Suara Merdeka tahun 2009)