Kraton Pusat Islamisasi Jawa? Apakah Sebenarnya Ada Mataram Islam?
Dua pertanyaan yang ada pada judul tulisan ini pernah ditanyakan langsung kepada pakar sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta, Prof DR Hermanu Joebagio. Kami menanyakan soal ini beberapa tahun silam kepada profesor yang lahir di Madiun pada 3 Maret 1956, di ruangan kerjanya beberapa tahun silam.
Prof Hermanu adalah guru besar Sejarah Politik Islam Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. Menyelesaikan program doktornya di UIN Sunan Kalijaga dengan disertasi bertajuk 'Politik Islam di Kasunanan Surakarta' pada 2010. Berikut sebagian hasil wawancara yang akan penulis tulis secara serial:
TANYA:
Setelah Palihan Nagari (pembelahan wilayah Mataram) menjadi dua wilayah Surakarta dan Yogyakarta, apakah ada pihak atau salah satu dinasti yang bisa menyebutkan sebagai satu-satunya pewaris keturunan takhta Mataram Islam?
JAWAB:
Penyerahan Pesisir Utara Jawa kepada VOC oleh Pakubuwono (PB) II ketika berakhirnya Geger Pacinan di Kartasura menimbulkan gerakan perlawanan yang dimotori Raden Mas Said, Pangeran Singasari, dan Pangeran Mangkubumi. Gerakan perlawanan ini berlangsung hingga pemerintahan PB III.
Bagi kompeni, munculnya separatisme politik itu akan mengganggu stabilitas politik dan menguras anggaran belanja kompeni. Karena itu, pemecahan yang diajukan kompeni adalah membagi kerajaan Mataram menjadi tiga wilayah kekuasaan politik. Pembagian itu disebut Palihan Nagari dan dilaksanakan melalui dua perjanjian politik, yaitu Perjanjian Giyanti (1755) dan Perjanjian Salatiga (1757).
Palihan Nagari menunjukkan ketidakberdayaan elite politik membangun konsensus politik guna mengatasi berbagai persoalan yang sedang dihadapi.
Ada dua hal yang mendorong ketidakberdayaan: (pertama) lemahnya hubungan antareliet politik pusat dan daerah, (kedua) lemahnya hubungan antarelite politik dan kekuatan sosial lainnya, yang dapat dimanfaatkan sebagai jejaring menciptakan stabilitas politik.
Padahal, dengan kuatnya stabilitas politik, raja sangat mudah menentukan sikap dalam hubungannya dengan VOC.
Babak akhir dari Palihan Nagari adalah menyisakan persoalan penataan birokrasi, batas wilayah, militer, pembentukan pemerintahan desa, dan pemulihan perekonomian kerajaan. Penataan birokrasi membutuhkan biaya besar, sedangkan masing-masing kerajaan tidak memiliki anggaran.
Ketika PB III wafat dan digantikan oleh putra mahkota (PB IV), dan menyatakan berkehendak membatalkan Palihan Nagari. Sejarawan Ann Kumar dalam The Diary of Javanese Muslim: Religion, Politics and the Pesantren mengemukakan bahwa PB IV merevitalisasi birokrasi dengan memasukkan ulama sebagai penasihat raja.
Jadi sejak itu, sejatinya ulama telah memiliki birokrasi sendiri yang disebut reh-pengulon yang sifatnya memberi pengajaran agama Islam dan mengelola masjid di bawah kekuasaan keraton. Eksistensi ulama di Kasunanan adalah kekuatan untuk proses rekruiting kekuatan politik. Faktor ini dipandang mengkhawatirkan Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I.
Melihat konstelasi politik di atas tidak mungkin ada satu 'keturunan Mataram' mengklaim dirinya paling berhak berkuasa atas empat reruntuhan kekuasaan Mataram, yakni Kasunanan, Kasultanan, Mangkunegaran, maupun Pakualaman, karena mereka masih satu keturunan.