Bisakah Raja Jawa Mengubah Hukum Sekehendak Hatinya?

Budaya  
Raja Pakubuwono X ketika berkunjung ke Masjid Luar Batang pada tahun 1920.
Raja Pakubuwono X ketika berkunjung ke Masjid Luar Batang pada tahun 1920.

Mengenai hubungan kekuasan dengan hukum serta bagaimana halnya dengan posisi ulama (cerdik pandai) dalam kekuasaan Jawa, almarhum pakar sejarah UNS Prof DR Hermanu Joebagio dalam wawancara pada sebuah kesempatan beberapa waktu lalu menyatakan sebagai berikut:

TANYA:

Benarkah raja Jawa, yakni raja Mataram bisa mengubah ketentuan ‘paugeran’ (hukum) dengan begitu saja?

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

JAWAB:

Kalau yang dimaksud dengan paugeran itu adalah gelar raja, bisa diubah atau disederhanakan karena masifnya modernisasi. Itu beda dengan hukum tidak bisa diganti begitu saja. Apalagi raja Jawa tidak boleh bicara berubah-ubah. Sebab, sabda adalah titah yang pasti.

Kalau soal gelar bila mengacu pada penilitian Nancy K Florida yang berjudul Menyurat yang Silam Menggurat yang Menjelang: Sejarah sebagai Nubuat di Jawa Masa Kolonial mengungkapkan bahwa gelar Sayidin Panatagama Khalifatullah tidak sesuai lagi disandang seorang raja, dan lebih cocok disandang oleh ulama karismatik. Karena itu, klaim perjanjian luhur merupakan mitos untuk melegalkan status mereka.

TANYA:

Apakah konsep kekuasaan Jawa yang bertumpu pada 'manunggaling kawula gusti; (bersatu raja dan rakyat) sekarang masih dapat dilaksanakan? Ataukah sekadar klaim atau mitos yang jauh dari fakta dari pihak dari orang yang berasal dari Jawa ketika berkuasa?

JAWAB:

Manunggaling kawula gusti merupakan implikasi dari kekuasaan berparadigma Ilahiyah. Dan, kekuasaan Ilahiyah adalah bentuk kekuasaan absolut. Prinsip manunggaling kawula gusti bermakna ganda, yakni: (pertama) memisahkan secara tegas antara kawula dan gusti, (kedua) adanya kesederajatan antara kawula dan gusti, (ketiga) mencari dukungan politik kawula.

Dalam konteks kekuasaan Ilahiyah, pada satu sisi ada garis pemisah antara gusti dan kawula, tetapi pada sisi lain kawula adalah kekuatan legitimasi politik.

TANYA:

Sampai sejauh mana peran gubernur jenderal VOC dan Hindia Belanda untuk menaikkan dan menurunkan seorang raja Mataram pasca tahun 1830 atau ketika kerajaan di Jawa Tengah ini benar-benar mutlak berada digenggaman penguasa kolonial?

JAWAB:

Peran gubernur jenderal VOC hanya pada proses penentuan putra mahkota. Dalam proses penaikan gubernur jendral hanya mengikat perjanjian dengan raja. Meskipun demikian, gubernur jenderal tidak serta-merta dapat memilih calon raja. Pencalonan putra mahkota tetap merupakan hak prerogatif raja.

Di sinilah perlu dipahami bahwa meskipun kerajaan secara politis berada di bawah genggaman penguasa kolonial, tidak benar bahwa proses penaikan dan penurunan raja juga dikendalikan penguasa kolonial sepenuhnya. Dalam hal ini, intervensi gubernur jenderal hanya terjadi di saat yang diperlukan.

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image