Politik

Terus Tetap Optimistislah: Matikah Partycracy dan Mitologi?

Dari kiri: Syahrir, Sukarno, dan H Agus Salim ketika menjalani masa pembuangan setelah Jogja diserang pada Agresi Belanda kedua.
Dari kiri: Syahrir, Sukarno, dan H Agus Salim ketika menjalani masa pembuangan setelah Jogja diserang pada Agresi Belanda kedua.

Oleh: Indra J Piliang, Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara

Transisi demokrasi diuji minimal lewat dua kali pemilihan umum (Pemilu). Konsolidasi demokrasi bukan lewat pergantian rezim politik, tetapi perumusan regulasi bidang politik hasil pemilu itu. Lewat artikel ‘Selamat Datang, Partycracy!’ (Suara Pembaruan, 03 Desember 2002), saya menyambut gemuruh keberhasilan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil Pemilu 1999 mengesahkan Undang-Undang tentang Partai Politik.

Ingatan akan senyum yang menghiasi wajah Mohammad Hatta kala berjumpa Jawaharlal Nehru, saya jadikan sebagai jiwa zaman (zeitgeist) bagi kehadiran regulasi itu. Sejarawan tahu, sulit sekali menemukan foto Bung Hatta dalam keadaan tersenyum.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Partycracy, istilah yang saya nukil dari ilmuwan Italia, Mauro Kalise (1994). Fenomena partycracy melanda sejumlah negara, dari Italia, Spanyol, Turki, Slovenia, hingga Kuba. Negara-negara itu mengalami era anarki, terutama setelah rezim diktator dan totaliter tumbang.

Slovenia sempat membuat Undang-Undang tentang Lustrasi, yakni potong satu generasi, sebagaimana slogan membuncah aksi-aksi demonstrasi kelompok mahasiswa militan dengan simbol tangan kiri pada tahun 1998-1999.