Silek Tuo, Pembentuk Karakter Budaya, Science Medicine, Sport Urang Minang
Oleh: Dr Rusdian Lubis, Dosen SBM ITB, Profesional Senior Bidang Pengelolaan SDA dan Lingkungan Hidup, dan Penulis Senior
Dua hari, 4-6 Juni, saya menghadiri Musyawarah Tuo (sesepuh) Silek Minang di Payakumbuh. Ini atas undangan Buya Zuhari Abdullah seorang pesilat, tokoh agama dan cendekiawan muda Minang.
Musyawarah para pendekar itu atau enghiong thay hwee dalam bahasa cersil, adalah untuk menjawab "kerisauan" tentang silek tuo atau tradisi silat Minang yang amat kaya namun makin terkikis oleh bela diri import, atau bahkan ditinggalkan oleh generasi muda Minang.
Ini bukan "pi bu", adu otot di panggung luitay, namun mencari solusi dengan musyawarah, "bulek aia dek pembuluah, bulek kato dek mufakaik (bulat air oleh pembuluh, bulat kata oleh mufakat).
Musyawarah di Balai Budaya Kaliki, di dalam rumah-rumah gadang, lesehan. Sebagai peninjau, aikidoka dan bukan pesilat, saya lebih banyak memperhatikan jalannya diskusi para tuo silek, pendekar, suhu dan bahkan guru besar silek Minang.
Dalam forum itu, tak ada kata-kata keras, apalagi baku pukul. Para pendekar berdebat dengan sopan dalam bahasa Minang penuh petatah petitih, euphemism, sopan-santun dan decorum. Sayang, saya hanya mengerti 50% dari bahasa ini.