Carita dari Rumah Betang Suku Dayak: "Sengkarut Lewu"

Sastra  
Rumah Betang suku Dayak.
Rumah Betang suku Dayak.

Oleh: Swary Utami Dewi

'Jika saja mereka tidak datang, tidak akan ada persilangan kata di Lewu ini. Ah, apakah nanti yang terjadi selanjutnya?"

Aku menghela nafas. Masih terbayang di benakku hiruk-pikuk pertemuan di aula Huma Betang Jumat kemarin. Ketika itu, suara yang tidak setuju beradu tinggi dengan yang setuju. Mantir Adat lewu, Bungan Juru, yang biasanya selalu didengar petuahnya, kali ini seolah tidak berdaya. Dia terlihat berkali-kali menghela nafas dan menggelengkan kepala. Pesona aura di sekitar tubuhnya seakan berhenti berpedar; Pudar meredup saat itu.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Umai menggawilku. Membuyarkan tatapan bingungku terhadap apa yang terjadi di pertemuan, yang berlangsung sejak pagi di Jumat itu. "Siwa, segera ambil kopi untuk Bue’." Perintah ibuku tegas, membuatku tidak jadi mengatakan 'sebentar'.

"Leha ewen tuh.. bahali tutu ampi." (mengapa ya mereka.. tampaknya sangat susah kali ini.)

Perkataan singkat itu yang sempat kudengar, saat aku memberikan segelas kopi untuk Bue'-ku. Aku seolah merasakan resah gelisah degup jantung tetua adat kampung kami ini. Seolah aku merasakan riak tak beraturan dari syaraf-syaraf di kepala kakekku ini. Aku lalu beringsut menjauh. Duduk di pojok rumah adat luas itu.

Sabtu ini, buku sketsa kembali kubuka. Kulukis garis-garis gelisah di pertemuan kampung kemarin. Kugambar jerit protes Mina Lesi yang menyatakan ketidaksetujuannya jika sebagian dari tanah adat peninggalan leluhur berpindah tangan. Telunjuk tanteku ini, yang mengarah ke Mang Punding, kulukis tegas. Kurangkai dalam goresan sketsa apa pun yang kusaksikan pada Jumat itu.

Semua berjejal padat di buku ini. Lembar demi lembar. Hampir penuh sesak hingga hanya menyisakan dua halaman di belakang. Entah sudah berapa kali pula kuraut pensil 2B ini, supaya sketsa yang kuhasilkan bisa terus terukir nyata.

Saat aku membalik dua halaman terakhir, Turiana tiba-tiba datang memberikan dua buku sketsa kosong.

"Capek, Kak... Sudah berkeliling lima toko, baru dapat." Dia mengeluh. Mukanya terlihat merah. Bau keringat adikku yang lepas bermandi matahari itu sempat tercium. Aku bisa membayangkan usaha keras bocah kelas enam sekolah dasar ini menggenjot sepeda tua milik Bue' untuk mencari buku sketsa sampai ke ibukota kabupaten, di saat hari sedang terik.

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image