Chairil Anwar danSitor Situmorang: Kawankah? Lawankah (bagian 2, tamat)
Oleh: Darmawan Sepriosa, Penulis dan Jurnalis.
Sayang sekali, kita tak sempat bertanya kepada Sitor sebelum kematiannya datang pada 2014. Sekitar 65 tahun setelah kematian Chairil pada 1949, atau lebih panjang dari usia “penyair jalang” yang hanya 27 tahun itu. Barangkali ada yang sempat, namun tak dibuat lestari dalam tulisan. Kita tahu verba volant, scripta manent, kata-kata menguap, tulisan jauh lebih abadi.
Atau mungkin hanya kekurangan saya, yang sejauh ini tak sempat menemukan alasan mengapa Sitor membuat dua sajak tersebut. Sampai saat ini saya belum menemukan semacam apologia dari Sitor. Mengapa perlu apologia? Sebab, saya berpikir apa yang ditulisnya tak sedikit pun menegaskan simpati pada yang sudah mati; sementara yang mati itu kawannya sendiri.
Bagaimanapun kita tetap harus mengatakan bahwa Sitor adalah seorang kawan bagi Chairil. Demikian pula sebaliknya, sebelum ada fakta lain yang menegaskan bahwa asumsi kita sebagai publik salah. Pertama, sebagai penyair sezaman, apalagi tinggal di kota yang sama, mustahil keduanya tak pernah berjumpa dan berkawan akrab.
Kedua, meski masih menyangsikan apa yang saya temukan dalam “Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45” yang ditulis HB Jassin, saya menduga hubungan keduanya cukup akrab. Pada sebuah prosa Chairil yang dimuat di buku tersebut,”Tiga Muka Satu Pokok”, Chairil menulis: “Pada sebuah pertemuan di rumah S.S, seorang kawan Perempuan menerangkan bahwa dia juga hidup dan merasa sangat dalam dan luasnya, hanya dia kurang bisa menyatakan. Aku yang duduk di sampingnya bertanya sampai manakah maksudnya dengan keterangan ini.”
Tidakkah besar kemungkinan bahwa yang disebut “S.S.” itu adalah Sitor Situmorang? Bila benar, artina keduanya berkawan, bahkan cukup akrab sehingga Chairil datang bersambang. Sayang memang, tak ada kata atau kalimat lainnya dalam prosa, juga dalam buku itu, yang menerangkan hal-hal yang bisa membuat kita memaklumi atau setidaknya mengerti raison d’etre Sitor terkait dua sajaknya itu.
Ketiga, belakangan dari otobiografi yang ditulis Sitor, “Sitor Situmorang Seorang Sastrawan 45 Penyair Danau Toba” (Penerbit Sinar Harapan, 1981), saya menemukan bkti bahwa keduanya tak hanya kenal, melainkan “kenal baik”. Frase itu saya pakai dengan alasan kuat bahwa tanpa fakta lain yang lebih kuat, saya belum bisa menulis mereka sebagai “sahabat”.
Pada buku tersebut, mulai halaman 199, Sitor menulis, saya kutipkan Panjang lebar: “Hari-hari pertama di Jakarta saya gunakan untuk orientasi. Saya mengunjungi redaksi surat-surat kabar, ngobrol ngalor-ngidul, mencoba mengetahui kemungkinan lowongan yang terbuka, namun dengan separuh hati. Ambisi hidup sebagai sastrawan bertambah. Saya ingin ketemu yang namanya Chairil Anwar, sama seperti pada pada kunjungan setahun lebih sebelumnya tapi yang tidak berhasil ketika itu.”
“Suatu pagi saya mampir ke Kantor Redaksi Harian Pedoman di Senen Raya, menemui Pimpinan Redaksinya, Rosihan Anwar. Belum lama bercakap-cakap, dari tangga kayu yang menuju ke tingkat kantor Redaksi di mana kami duduk, muncul seorang yang langsung saya merasa kenal dari foto-foto yang pernah saya lihat: Chairil Anwar. Rosihan Anwar memperkenalkan saya kepadanya. Chairil Anwar secara bersahabat langsung menyalam tangan saya sambil memukul bahu saya, seperti sudah lama berkenalan, padahal baru kali pertama. Ia ternyata tahu nama saya, lain tidak karena karangan yang pernah saya kirim dari Yogyakarta mengenai bunga rampai “Gema Tanah Air” susunan HB Jassin.
Saya tidak pernah baca sendiri karangan itu, pun sebelumnya tidak pernah tahu apakah memang dimuat. Isinya tidak dapat disebut bernilai kritik sastra, hanya sekedar pendapat yang agak kritis mengenai campur aduknya mutu sajak yang dimuat, termasuk saja-sajak yang buat saya "bukan sajak". Kira-kira demikian. Suatu pendapat pribadi.”
“Tapi rupanya berkesan bagi Chairil Anwar. Ia segera mengajak saya ke beranda kecil dari kantor Pedoman, beranda depan, dari mana lalu lintas Senen Raya kelihatan di bawah. Chairil Anwar langsung bicara hal maksudnya akan mengusaha-kan penerbitan pocket books, terutama terjemahan karya sastra dunia yang baik ke dalam bahasa Indonesia. Saya diajak dan diharapkannya "bergabung dengan teman-teman". Rupanya ia langsung menerima saya sebagai "sastrawan". Kami akan mendapat banyak duit!”