Sejarah

Tjitjih yang Bukan Miss, dan Buiten Het Gareel yang Terlupa


Benturan Nilai

Sebagai intelektual pada zamannya, Soewarsih menulis tapi tidak menerbitkan novel. Buiten het gareel ditulis tahun 1939, setelah Soewarsih bertemu Charles Edgar Du Perron, sastrawan Belanda kelahiran Jatinegara, Jakarta Timur.

Soewarsih menganggap Eddie, panggilan akrab Charles Edgar Du Perron, adalah guru yang mengajarkannya menulis dalam Bahasa Belada lewat Uren met Dirk Coster. Ia dan Du Perron sering terlibat diskusi tentang sastra dan tokoh-tokohnya.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Buiten het gareel adalah novel biografi, dengan sepasang suami-istri gudu muda yang idealis; Soedarmo dan Soelastri, sebagai representasi Soewarsih dan Soegondo. Soedarmo mendirikan dan memimpin Perguruan Kebangsaan, yang membangun sekolah-sekolah untuk anak-anak pribumi sebagai alternatif bagi sekolah Belanda yang langka.

Keduanya tidak hanya membuka kelas untuk anak-anak, tapi juga untuk orang dewasa yang ingin belajar. Kelas untuk orang dewasa diselenggarakan malam hari. Setiap peserta didik, anak-anak dan dewasa, dikenakan biaya yang jumlahnya tak seberapa.

Pemerintah Belanda menyebut sekolah itu liar. Tidak ada subsidi dari pemerintah Belanda. Para guru harus bertahan hidup dari sumbangan siswa yang jumlahnya tak seberapa dan tidak pasti.

Novel ini kali pertama diterbitkan tahun 1940. Menurut koran insulindo, novel diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan dirilis 1975 dengan judul Manusia Bebas. Di Belanda, Buiten het gareel diterbitkan ulang, dalam Bahasa Belanda, tahun 1986.

Soewarsih juga menulis novel dalam Bahasa Sunda berjudul Marjanah, dikirim ke Balai Pustaka, dan ditolak. Alasan penolakan tidak jelas. Ada dua kemungkinan alasan penolakan itu; pertama bahasa yang digunakan bukan standar, kedua Marjanah tak lain Buiten het gareel dalam Bahasa Sunda.

Soewarsih bertutur banyak hal dalam novel itu lewat sosok Soelastri, terutama tentang norma dan nilai tradisional. Sebagai guru didikan Barat, Soelastri mengucapkan selamat tinggal dengan pikiran Barat tapi mempertahankan perasaannya.

Ketika Soedarmo dilarang mengajar karena mengkritik kebijakan pemerintah kolonial di surat kabar, Soelastri menghela nafas dalam-dalam. Frustrasi? Tidak. Keduanya bertahan dengan meminjam uang dari keluarga dan teman untuk memulai lagi ‘sekolah liar’-nya, seraya berharap dukungan dari kelompok pelajar Inlandsche Kweekschool, atau sekolah guru untuk pribumi, dari Soerakarta.

Di sisi lain, pemerintah Hindia-Belanda berharap Soedarmo dan Soelastri menyerah, menerima tawaran mengajar di sekolah pemerintah dengan gaji menggiurkan. Pemerintah Hindia-Belanda menghadapi sekeping besi.

Buiten het gareel tidak sekedar novel orang terjajah, tapi ada universalitas di dalamnya. Pertengkaran antar tokoh berbeda, dan perbincangan tentang teori pedagogi sampai ideologi Marxisme, kesenjangan kota dan desa, perbedaan etnis Jawa dan Sunda, dan lainnya.