Budaya

Deva Raja dan Konsep Kekuasaan Jawa: Benarkah Lestari Hingga Kini?

Raja Pakubuwono X ketika berkunjung ke Masjid Luar Batang, Batavia, 1920.
Raja Pakubuwono X ketika berkunjung ke Masjid Luar Batang, Batavia, 1920.

Kaum cerdik pandai sejak lama tahu bahwa konsep kekuasaan Jawa itu mengacu pada kekuasaan ala India yakni 'Devaraja' (Raja Dewa). Ini artinya raja berkuasa mutlak atau absolut sebagai wakil Tuhan di bumi. Masa kekuasaanya pun sepanjang hayat.

Hal ini ditandai dengan munculnya hal mistis, yakni datang dan perginya 'pulung', wahyu kekuasaan. Bentuknya konon seperti sinar putih yang merasuk kepada seseorang.

Tapi apakah budaya kekuasaan Jawa itu mutlak. Memang seperti diakui DN Aidit bila Jawa adalah 'konci' Indonesia atau budaya kekuasaan Jawa itu sangat menentukan 'rasa kekuasaan'. Mendiang cendikiawan Muslim, DR Nurcholish Madjid dalam banyak diskusi membenarkan adanya budaya kekuasana bergaya Mataram di Indpnesia. Tapi itu bukan sejatinya Jawa.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Nurcholish kemudian menjunjuk masa kekuasaan Demak dengan rajanya Sultan Raden Fatah. Kekuasaan raja ini tak mutal alias dibagi dengan kekuasaan lain, yakni dewan penasihat yakni para wali (dewan ulama). Raja tak bisa seenaknya berkuasa dan harus taat pada hukum, kala itu hukum fiqh.

''Kalau kekuasaan Jawa itu identik dengan gaya Mataram tidak juga. Di masa lalu ada era kekuasaan kerajaan Jawa Demak. Bahkan kalau disebut Orde baru itu identik dengan kekuasaan Jawa, juga tidak. Sebab, bila dirunut hingga titik akhir, ujungnya ya pada gaya kekuasaan pribadi Pak Harto saja yang merupakan orang Jawa. Ingat Jawa tidak identik dengan Suharto,'' kata Cak Nur pada suatu diskusi.