Budaya

Deva Raja dan Konsep Kekuasaan Jawa: Benarkah Lestari Hingga Kini?


Hal yang sama juga dikatakan Prof Hermanu Joe Soebagio dalam sebuah wawancara iseperti di bawah ini:

TANYA:

Kalau di kesultanan zaman Demak raja tak berkuasa absolut karena ada dewan ulama atau wali. Lalu, apakah di Kerajaan Mataram Islam kemudian malah raja berkuasa mutlak atau tak terbatas?

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

JAWAB:

Pada zaman Kerajaan Demak, paradigma politik yang dianut adalah decending of power atau religio political power. Descending of power merupakan sistem politik yang dipengaruhi oleh kekuatan agama, dan dalam sistem itu ulama yang bersinergi dengan kekuatan politik berperan memberi fatwa terhadap kebijakan publik yang diberlakukan raja. Peran ulama itu untuk menekan gejolak politik yang mungkin dapat mengganggu stabilitas keamanan saat kebijakan publik diberlakukan.

Artinya, ulama yang berada di sekitar lingkaran kekuasaan dimungkinkan membatalkan kebijakan publik yang dipandang tidak berpihak kepada rakyat, atau kebijakan itu memang dibutuhkan untuk pengorbanan demi keutuhan negara. Dengan demikian, ulama harus memastikan seberapa jauh kebijakan itu tidak untuk eksploitasi, tetapi demi kepentingan negara.

Transendensi konsep kekuasaan Jawa tidak saja berpijak pada prinsip etika dan moral, tetapi juga mempertimbangkan persoalan-persoalan legitimasi politik yang mungkin dapat dipetik melalui kebijakan publik itu. Jadi, peran ulama di situ adalah sebagai arbitrase untuk menciptakan kestabilan politik pada awal dekade kekuasaan Demak.

Stabilitas politik yang tercipta ini kemudian mendorong oleh relasi-relasi yang mengesankan antara variabel-variabel politik, misalnya lembaga politik, pembangunan ekonomi diperankan oleh para pedagang, dan partisipasi seluruh elemen politik. Dengan kata lain, relasi antarkomponen politik yang meliputi elite politik, ulama dan rakyat (petani, pedagang, dan buruh) memicu terbentuknya kesatuan politik Kerajaan Islam Demak.

Descending of power itu pun tidak berlangsung lama. Karena, konsep religio political power oleh pewaris takhta Mataram dipandang sebagai pembagian kekuasaan dengan ulama. Karena itu, timbul keinginan untuk melakukan subordinasi sehingga relasi kesepadanan politik antara raja dan ulama bisa ditiadakan.

Namun, adanya persepsi elite politik seperti ini justru kemudian mengoyak stabilitas politik, dan pada sisi lain berakibat fatal bagi Kerajaan Islam Demak, yakni memunculkan perpecahan yang berakhir dengan keruntuhan. Dan, dalam hal ini paling tidak ada da dua faktor penyebab perpecahan tersebut.

Pertama, besarnya intrik, provokasi, dan faksionalisme dalam konstelasi politik kerajaan tradisional itu. Persoalan intrik, provokasi, dan faksionalisme ini adalah juga sebagai akibat besarnya jumlah keluarga raja. Mereka berkepentingan untuk menguasai kekuasaan.