Dari Monyet Bekantan, Islamabad, Hingga IKN di Penajam: Ke manakah Kita Harus Belajar?

Budaya  
Sepotong pemandangan indah islamad, ibu kota Paskitan yang mukai dibangun pada 1960.
Sepotong pemandangan indah islamad, ibu kota Paskitan yang mukai dibangun pada 1960.

Hari ini heboh soal tudingan terkait belajar sama monyet dengan pembangunan ibu kota dari pernyataan seorang jurnalis diunggahan Youtube-nya. Untunglah dia sudah minta maaf. Meski begitu tampaknya kontroversi akan jalan terus dalam berbagai hari ke depan. Apalagi sifat media massa, termasuk media sosial masa kini, sangat suka berita-berita kontroversial.

Monyet sendiri di sekitar wilayah Penajam yang akan dijadikan ibu kota baru memang ada. Malah, menjadi binatang terunik di dunia karena punya hidung yang panjang. Saluran TV National Geographic bolak-bali mengulasnya. Ini makin menarik karena pengurus utamanya ternyata seorang perempuan bule. Dia rela tinggal di sana bersama para monyet Bekantan itu.

Namun, memang soal ibu kota bukan terkait soal urusan habibat para satwa Bekantan itu. Ibu kota yang akan dibangun sebagai pusat pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia jelas bukan sekedar bangun kandang binatang. Tapi ini adalah proyek besar negara dengan harga ratusan triliun dan dengan baru bisa lengkap fasilitasnya sekitar dua puluh tahun ke depan. Jelas proyek mahakarya. Bukan ecek-ecek!

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Soal ibu kota Nusantara (IKN) muncul beberapa dalih bahwa pembangunan itu penting. Ada yang bilang demi memindahkan beban Jakarta yang sudah sempoyongan. Ada yang bilang demi pemerataan pembangunan dalam rangka memajukan bangsa. Ada pula yang menyatakan –para pebisnis – pembangunan itu tempat untuk mendongkrak ekonomi negara yang kini hancur di makan pandemi Covid-19 serta digerogoti utang hingga sekitar dari Rp6000 trliun.

Tapi ketika merenungkan soal ibu kota baru, tiba-tiba ingatan ini terantuk pada sosok ibu kota negara Pakistan yang pernah penulis kunjungi dua kali beberapa tahun silam. Ibu kota Nusantara atau IKN ini mirip konsepnya dengan ibu kota negara tersebut. Islamabad adalah ibu kota pemerintahan Pakistan. Kotanya tertutup. Penuh taman, jalanan rapi, hingga pegunungan. Pokoknya keren konturnya. Di atas bukit kota ada restoran klasik yang punya menu makanan sangat enak. Pangeran Charles dan putri Diana pada awal 1980-an pernah ke sana. Petinju legendaris Muhammad Ali juga pernah bersantap di tempat itu.

Dunia tahu, Islamad dalah ibu kota yang dibangun pada tahuan 1960 dengan maksud menggantikan kota Karachi yang saat itu nasibnya persis sama dengan Jakarta: yakni penuh beban urbanisasi, polusi, kemacetan, dan berbagai soal lainnya. Dengan bantuan Inggris maka Pakistan membangun ibu kota baru yang diberi nama Islamabad (/ɪzˈlɑːməˌbɑːd/; bahasa Urdu: اسلام آباد, Islāmābād, Pengucapan bahasa Urdu: [ɪsˌlaːmaːbaːd̪]), di lakukan.

Dalam laman Wikipedia menyatakan bila kota ini berpopulasi dua juta orang. Islamad adalah kini adalah kota terbesar ke-10 di Pakistan, sementara wilayah metropolitan Islamabad-Rawalpindi adalah yang terbesar ketiga di Pakistan dengan populasi melebihi lima juta. Kota ini merupakan pusat politik Pakistan dan dikelola oleh Korporasi Metropolitan Islamabad, didukung oleh Otoritas Pengembangan Ibu kota (CDA). Konon ibu Kota Nusantara nantinya juga akan dikelola seperti itu, yakni melalui sebuah badan otorita.

Islamabad terletak di Dataran Tinggi Pothohar di bagian timur laut negara itu, antara Distrik Rawalpindi dan Taman Nasional Bukit Margalla di utara. Wilayah ini secara sejarah menjadi bagian dari persimpangan Punjab dan Khyber Pakhtunkhwa dengan Margalla Pass sehingga seolah bertindak sebagai pintu gerbang antara kedua wilayah tersebut. Pada awal tahun 1960 ketika hendak di bangun rencana induk kota membagi kota menjadi delapan zona persis IKN. Di sana juga telah ada pembagian dengan wilayah administratif, diplomatik, daerah pemukiman, sektor pendidikan, sektor industri, kawasan komersial, dan daerah pedesaan dan hijau.

Kota ini dikenal dengan adanya beberapa taman dan hutan, termasuk Taman Nasional Bukit Margalla dan Taman Shakarparian. Kota ini merupakan rumah bagi Masjid Faisal, masjid terbesar di Asia Selatan dan yang terbesar keempat di dunia. Tengara lainnya termasuk Monumen Nasional dan Lapangan Demokrasi Pakistan.

Tapi pertanyaannya, setelah 60 tahun berdiri impian ketika kota Islamabad mulai dibangun ternyata tak teterwujud. Kota memang terasa lebih tertata dari pada kota lainnya di Pakistan. Kota ini punya dua katup gerbang pengaman berupa pintu masuk ketika terjadi huru-hara. Kota ini terpisah dengan lingkungan kota sekitar. Istilahnya eklusif, meski sampai beberapa tahun lalu masih ditemukan angkutan umum yang rombeng. Sekitar empat tahun lalu itu saya masih melihat bus angkutan kota itu masih ketinggalan zaman di Islamad, persis dengan Jakarta kala zaman Kopaja.

Sama dengan wilayah Penajam di Kalimantan Timur, Islamabad juga dekat dengan wilayah perbatasan. Jarak dari kota itu ke perbatasan Afghanistan bisa dijangkau dengan naik mobil selama 2,5 jam. Jadi jelas sangat dekat. Dan Penajam pun begitu berada di dekat perbatasan RI dengan Malaysia.

Meski menjadi kota esklusif yang dijaga ketat, apakah membuat kota islamad benar-benar ibu kota yang aman? Jawabnya, tidak sama sekali. Berbagai bom dan kerusuhan kerapkali meledak di sana. Yang terakhir pengeboman yang bersifat besar adalah aksi peledakan bom di Hotel Mariot Islamabad oleh sekelompok orang yang disebut teoris dengan membawanya dalam sebuah truk proyek pembangunan. Ini terbukti, meski jadi kota istimewa tetap taka ada jaminan keamanan di sana.

Pada sisi lain, Islamabad bagi saya malah merupakan pameran dari kesenjangan Pakistan. Ini karena di saat kota-kota yang lain di Pakistan berantakan, Islamabad terlihat ‘kinclong’ sendiri. Segala kekurangan, kepapaan, kemiskinan rakyat Pakistan seolah dapat tersembunyikan. Juga soal kegentingan perang saudara yang menjalar hingga konflik di Afghanistan tetap nyata. Ini terasa karena banyak orang dari Afghanistan berwisata ke kota itu, sekaligus melakukan reriungan dengan kerabatnya di Pakistan. Bagi mereka Islamad tak lebih dari kota untuk wisata. Untuk katarsis diri.

Bercermin dari Pakistan yang telah membangun ibu kota baru yang kini sudah berumur 62 tahun, saya membatin apakah nanti IKN tidak mengalami nasib seperti itu. Bukankah sudah banyak contoh akibat salah kalkulasi pembangunan ibu kota baru sebuah negara tak berarti apa-apa, atau hanya sekedar proyek mercusuar. Lihat apa yang terjadi pada ibu kota baru Mynmar dan ibu kota baru Brasil. Nasib ibu kota baru tersebut memelas. Dan Islamad juga bisa menjadi salah satu contoh lainnya, betapa ibu kota baru terjyata tidak bisa menjamin bila terbangun maka negara Pakistan tersebut menjadi semakin makmur, merata, aman dan sentosa.

Pertanyaan ini penting diajukan karena semua sadar negara Indonesia tercinta ini tengah dalam kondisi yang tak baik. Pengangguran ada di mana-mana, kemiskinan meningkat, anak-anak bingung sekolah karena tak punya uangpe untuk beli pulsa internet serta perangkat handphone yang kompatibel. Pandemi Covid-19 masih meluas.

Maka, harapannya jangan sampai pembangunan ibu kota Nusantara menghilangkan kesempatan emas kita mendongkrak mutu sumber daya manusia Indonesia dengan adanya ‘bonus demografi’ hingga tahun 2030.

Apakah untuk menjawab itu semua kita perlu tanya pada Bekantan yang tinggal di hutan sekitar Penajam itu? Saya yakin semua anak bangsa pasti punya rasa kecintaan yang besar kepadanya negaranya. Long live Indonesia !

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image