Budaya

K-(ISLAMIC) POP: Gelombang Milenial Muslim Korea

Ayana Jihye Moon y
Ayana Jihye Moon y

Oleh: Akmal Nasery Basral, Sosiolog, Penulis

SEMALAM saya mendapat amanah sebagai khatib taraweh di Masjid Al Qalam, Citra Gran Cibubur, masjid yang nyaman, modern dan indah. Usai ibadah dalam perjalanan pulang ke rumah, masuk notifikasi dari salah satu akun YouTube yang saya ikuti. “My First Medina”, begitu judul vlog terbaru unggahan akun Daud Kim, 30 tahun, seorang influencer, YouTuber dan selebgram muslim Korea terkemuka selain Ayana Moon; Song Bora a.k.a. Ola; Yongsworld ( Yong Lee-seong); Ujung Oppa ( Joong Hwang-woo); dan Kang Nayeon a.k.a. Safiya Kang, untuk menyebut beberapa nama. Tiba-tiba berpendar seutas tanya di benak saya, “Apakah sedang terjadi arus balik K-Pop ke arah berbeda?”

K(orea)-Pop adalah bagian dari tsunami kebudayaan hallyu (gelombang Korea) yang sedang menenggelamkan—sekaligus memukau--dunia. Lidah-lidah ombak hallyu lainnya adalah K-Drama (di Indonesia populer disebut ‘drakor’ singkatan dari ‘drama Korea’), K-Fashion, K-Movie, dan sebagainya

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Atas pertanyaan saya apakah terjadi pembalikan arus K-Pop, jawaban singkatnya adalah "tidak". Atau lebih tepatnya "belum". Gelombang K-Pop masih terlalu deras untuk dihalangi apalagi ditandingi. Namun sebagai “riak-riak alternatif”, apa yang dilakukan para influencer milenial muslim Korea itu bolehlah dijuluki sebagai “ K-(Islamic) Pop" sambil menunggu ditemukannya istilah lebih tepat dan sesuai perkembangan berikutnya.

Bagi saya kemunculan Daud Kim dkk ibarat datangnya fajar sebuah era. Bagaimana tidak? Bayangkan saja jika sampai Sensus 2005, Pemerintah Korea Selatan masih belum menyediakan kolom “Muslim” sebagai satu kategori jawaban untuk identitas agama dalam sensus.

Selain itu, saya memiliki ikatan personal tersendiri ketika di akhir Januari lalu merilis novel berjudul Sabai 선우 (baca: Sabai Sunwoo) yang beraroma Korea.

Pada novel terbitan MCL Publisher ini saya tampilkan selintas peran Choi Yong-kil, muslim Korea yang menerjemahkan Al Qur’an ke dalam bahasa Hangul ketika dia belajar Islam di Madinah Gelar PhD diperolehnya dari Omdurman Islamic University (OIU), Sudan. Sekarang dia dikenal sebagai Profesor Hamid Choi Yong-kil, Guru Besar Kajian Arab dan Islam di Universitas Myongji, Seoul. Karya fenomenalnya yang lain adalah terjemahan kitab Shahih Imam Bukhari yang kini bisa dibaca masyarakat Korea dalam bahasa mereka. Sebuah kerja literasi mengagumkan yang bahkan sulit dilakukan oleh mereka yang lahir dan besar sebagai muslim keturunan seperti saya.

Apakah Daud Kim akan mengikuti jejak Profesor Hamid Choi? Waktu yang akan membuktikan. Sebab kendati fasih berbahasa Inggris, Daud belum lancar bahasa Arab. Bisa dimaklumi karena dia revert sebagai mualaf sejak September 2019.

Toh meski belum terlalu lama sebagai mualaf, mantan penyanyi cover version yang lahir di keluarga Katolik dengan nama David Kim ini punya 3,18 juta follower di YouTube. Itu jumlah terbanyak di antara semua influencer milenial muslim Korea.

Ungkapan ‘semakin tinggi pohon semakin keras tiupan angin’ pun dialami Daud yang kerap digulung isu puting beliung. Dari melakukan KDRT terhadap (mantan) istri, masih mengonsumsi alkohol dan clubbing, melakukan pelecehan seksual terhadap perempuan baru dikenal, atau menjadi mualaf hanya untuk kaya dan terkenal. Singkatnya: “ fake muslim”. Itu tuduhan yang dilecut dan disebar akun-akun pembenci Daud.

Namun dua vlog Daud terakhir menunjukkan sebaliknya. Melalui video “My First Medina” dan “Finally, I Came to Saudi Arabia”, dia bilang ingin merasakan pengalaman Ramadan di Tanah Suci sekaligus melakukan umrah pertama.