Kedermawanan Melebihi Angin
Oleh: Akmal Nasery Basral, Sosiolog dan Penulis.
DUA hari lalu di sejumlah WAG beredar posting berjudul “Ustadz Kampung” tulisan Ramadhani Akrom. Cuplikannya, “Tadi malam sudah hari keempat puasa berjalan. Berarti sudah lima kali salat taraweh dilaksanakan, termasuk di musala dekat rumah saya. Dari lima kali itu saya sudah dua kali jadi imam taraweh. Seorang teman bertanya di WA, bagaimana kesan setelah lewati 5 kali salat taraweh? Saya jawab nggak ada kesan apa-apa. Cuma sebagai ustadz kampung saya tak dapat pemasukan apa-apa dari jadi imam dan pengisi kultum jelang taraweh. Malah dapat kutukan dan grutukan. Kok? tanya temanku itu. Nggak seperti ustadz profesional yang panen waktu bulan puasa, habis jadi imam dan penceramah, nggak ada yang nyalami saya nyodorin amplop ... Itu ustadz kampung, tanpa amplop tanpa kehormatan. Bulan puasa berlaku, hidup pun berlaku. Bagi ustadz seperti saya ini tidak ada istilah panen dan banyak rezeki pada masa Ramadan.”
Saya kenal dengan ‘ustadz kampung’ penulis posting ini dan memanggilnya Angku Inad tersebab darah Minang yang mengalir di tubuhnya meski lahir di Curup, Bengkulu, 60 tahun lalu. Beliau senior saya di FISIP UI.
Lulus kuliah Angku Inad pernah merajut karier sebagai wartawan koran Pelita. Tahun lalu dia terbitkan sendiri novel berjudul Cinta di Antara Desing Peluru yang terinspirasi dari kerusuhan Tanjung Priok 1984. Sebuah novel semi biografis yang layak dibaca.
Sebelum pandemi, Angku Inad mendirikan Pengajian Ibnu Mas’ud (PIM) untuk anak-anak duafa di kawasan Sukatani Tapos, Depok, tempat tinggalnya. Untuk pengajaran, Angku Inad dibantu dua orang dua ngaji honorer dari warga setempat. Ketika itu saya ikut menggalang kepedulian sejumlah kawan untuk mendukung PIM dengan melengkapi kebutuhan dasar seperti pasokan mushaf Al Qur’an, rehal (bangku kecil khusus tempat menaruh Al Qur’an yang hendak dibaca) serta honor guru untuk kegiatan awal. Angku Inad dengan gembira memosting foto-foto kegiatan awal itu di dunia maya.
Kembali ke isi posting di atas, bagaimana cara kita membacanya dan menempatkan secara tepat dalam suasana umat sekarang? Apakah itu hanya sekadar curhat Angku Inad atau lebih jauh lagi sebuah kritik sosial terhadap kondisi dakwah sebagian ustadz? Keduanya sangat mungkin, yang satu melengkapi yang lain. Apalagi saat ini masih belum lenyap kabar tak sedap tentang pemalsuan tanda tangan Ketua Dewan Masjid Indonesia Jusuf Kalla dan Sekjen Imam Addaruqutni oleh Ketua Departemen Ekonomi Arief Rosyid. Sebuah tindakan kalap yang kurang adab.
Pemalsuan tanda tangan dilakukan untuk mengundang Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin agar berkenan menghadiri Festival Ramadhan yang disemarakkan kegiatan pameran UMKM, kuliner halal, buka puasa bersama, dan kegiatan lainnya selama sebulan penuh yang gemebyar.
Arief Rosyid, 36 tahun, bukan sosok sembarangan. Dia memiliki gelar Magister Kesehatan Masyarakat dari FKM UI (2014), Ketua Umum PB HMI (2013-2015), dan sedang menjabat sebagai Komisaris Independen PT Bank Syariah Tbk (BSI) sejak Februari tahun lalu. Lantas, dengan kredensial begitu mengkilat apa motif sebenarnya sampai nekad menggunting otoritas Ketua dan Sekjen DMI yang dikenalnya sangat dekat? Apa iya cuma urusan festival Ramadan saja yang melibatkan umat? Atau ada motif lain yang lebih misterius dan syubhat?
DMI sudah memecat Arief Rosyid sehari sebelum puasa dimulai. Bukan tak mungkin urusan berlanjut ke ranah hukum jika Jusuf Kalla melaporkan ke kepolisian seperti disampaikan juru bicaranya, Husain Abdullah, kepada para wartawan.
Arief juga diminta mundur dari jabatan sebagai Plt Ketua Yayasan Pengkaderan Insan Cita (YPIC), meski sebagai salah seorang dari tujuh pendiri. YPIC adalah yayasan yang dibangun aktivis HMI untuk melakukan penggalangan dana yang digunakan untuk pelatihan SDM. “Saya gagas dan inisiasi agar ada fund endowment untuk kaderisasi umat dan bangsa yang tak boleh dikooptasi oligarki,” ungkap Marbawi Azis Katon, sosok sentral dan pemikir utama YPIC, kepada saya dini hari tadi.
Arief menjadi Plt Ketua akibat musibah yang dialami Mulyadi P. Tamsir, Ketua HMI yang wafat bersama istri dalam kecelakaan pesawat Sriwijaya rute Pontianak-Jakarta di Kepulauan Seribu, Januari 2021. “Pencopotan (Arief) terpaksa dilakukan agar jadi ibroh (pelajaran) saya juga meski sebenarnya saya tak suka melakukan ini,” lanjut Marbawi yang pernah menjadi Wakil Ketua Kwartir Nasional era Adhyaksa Dault sebagai Ketua Pramuka.