Tragedi Sepakbola dan Filosofi Bijak di Balik Politik Angka Korban di Kanjuruhan
Angka resmi yang diberikan sebagai jumlah korban tragedi Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, tampaknya hingga saat ini masih jadi sengkarut. Markas Besar Kepolisian RI mempublikasikan angka 125 orang meninggal, yang tampaknya merujuk angka yang diperoleh Dinas Kesehatan Kabupaten Malang. Menurut Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, bila sebelumnya disebutkan ada 129 orang tewas, perbedaan angka itu karena ada nama yang dihitung ganda.
Tetapi keluarnya angka resmi tersebut tidak lantas membuat persoalan mendasar itu tuntas. Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur—bukan Kabupaten Malang–, per 2 Oktober pukul 14.53 WIB lalu, hasil rekapitulasi mereka ada 131 orang tewas. Sementara terdapat 253 orang terluka ringan sampai sedang, dan 31 orang korban terluka berat. Angka Dinkes Provinsi Jatim itu didapat dari 25 rumah sakit yang menjadi rujukan penanganan korban tragedi Stadion Kanjuruhan.
Oh ya, Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Dardak pun punya catatan jumlah korban meninggal sendiri. Menurut catatan Emil—tidak dijelaskan dari mana dia dapat– jumlah korban meninggal hingga Ahad (2/10) pagi, pukul 10.30 WIB, tercatat sebanyak 174 orang.
Urusan ini tampaknya masih belum akan tuntas, karena Aremania—kelompok fans fanatik kesebelasan Arema Malang—, yang dalam hal ini tentu berada di lingkaran dalam persoalan, punya versi sendiri yang tidak bisa diabaikan. Bagaimana pun, mereka berada di dalam stadion, merasakan bagaimana petaka itu terjadi dalam setiap detiknya.
Aremania memperkirakan jumlah korban jiwa akibat tragedi Stadion Kanjuruhan, jauh melebihi data resmi pemerintah. Menurut Dadang Indarto, salah seorang perwakilan Aremania, temuan awal organisasinya menerakan jumlah korban meninggal bisa lebih dari 200 orang. “Kalau data yang dikeluarkan pemerintah sekarang 125 korban meninggal, perkiraan kami lebih. Menurut perkiraan kami di atas 200,”kata Dadang kepada wartawan di Malang, Senin (3/10) lalu.
Prakiraan angka tersebut, kata Dadang, didapat Aremania setelah menghimpun berbagai informasi dari Aremania Malang Raya dan sekitarnya. Sebagian korban meninggal, kata Dadang, langsung dibawa rekan-rekan mereka pulang ke daerah asal, usai kejadian. Mereka tak sempat dibawa ke rumah sakit.
“Banyak jenazah yang langsung dibawa pulang. Di Probolinggo ada tujuh, di Pasuruan ada tiga. Bisa lebih,” uar dia. Untuk itulah, kata Dadang, Aremania segera membentuk tim pencari fakta untuk menggali data kematian dari seluruh wilayah. “Bukan hanya di Malang Raya. Juga Banyuwangi, Madiun, Pasuruan, Blitar, Kediri dan Jombang,” kata dia.
Wajar bila kisruh perbedaan jumlah korban meninggal itu membuat banyak tokoh publik mulai meradang. Di antaranya mantan Menteri Perikanan dan kelautan, Susi Pudjiastuti. Via akun Twitter-nya, @susipudjiastuti, pada Senin pagi (3/10) lalu ia mencuit. “Mohon pencerahan, yang benar angka yang mana? Beri angka yang sejujurnya dan sebenarnya,”ujar Susi dalam cuitannya itu. Susi menyadari, yang sudah meninggal dunia tidak akan kembali meskipun angka berubah. Bahkan tangisan pun tidak bisa mengobati duka. “Tapi beri kami tahu dengan jujur berapa saudara kami yang berpulang, sekali ini beritahu kami kebenarannya.”
Susi benar. Ini bukan soal bawel, nyinyir, atau bahkan mempolitisasi kematian. Ini hal mendasar dalam bencana yang seharusnya semakin tua usia negeri, kian membuat tanggung jawab kita meninggi. Yang terutama, bahkan agar dunia tahu bahwa kita bukan seorang Stalinis alias para pengikut fanatik Stalin. Kita adalah bangsa yang memegang kuat kaidah moral dan agama bahwa kematian tanpa hak satu jiwa manusia saja, sejatinya sama dengan pembunuhan atas seluruh umat manusia. Itu yang Allah tegaskan melalui firman-Nya dalam Al Quran, Surat Al-Maidah ayat 32.