Di Mulai Sejak 1950-an, Islam di Jawa Bergerak dari Minoritas Menjadi Mayoritas

Sejarah  

Adanya fakta ini, sangat berbalikan dengan kenyataan kisah Islam di Jawa pada 1950-an. Dalam bukunya ‘Mengislamkan Jawa’ MC Ricklefs mengisahkan betapa kontrasnya situasi masa kini dengan masa lalu itu. Ricklefs menyatakan berdasarkan kajian dari amatan pada hasil pemilu umum 1955 diketahui masyarakat santri merupakan minoritas. Bahkan, hanya 10 dan 40 persen masyarakat Jawa merupakan kaum santri yang saleh dan taat. Sementara pada pertengahan 1950-an sekitar 60-90 persennya adalah kaum abangan.

‘’Sampai akhir buku ini ditulis (Mengislam Jawa,red) kita memang masih belum memiliki hasil survey sosial yang benar-benar terpercaya, tetapi kita akan melihat bahwa persentase tersebut (kini) berbalik, dan aliran (abangan) sendiri menemui akhirnya dan terkubur sebagai sebuah fenomena politik,’’ tulis MC Ricklefs.

Dan mengingat status kaum Jawa santri saat itu sebagai kelompok minoritas tidak mengejutkan bahwa ketika peneliti seperti Clifford Geerd dan sejawatnya yang pada kurun itu melakukan penelitian mereka di Pare (dekat Kediri), mereka sampai pada observasi yang luar biasa yang hanya beberapa dasawarsa kemudian akan menjadi sepenuhnya keliru. Geertz sempat menulis begini dalam bukunya ‘The Religion of Jawa’:

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

‘Sangat sulit, mengingat tradisi dan struktur sosialnya, bagi seorang Jawa untuk menjadi ‘Muslim yang sejati’ Allah yang asing, menakutkan dan menajubkan moralisme yang berta, serta ekskluvisme yang intoleran yang menjadi bagian yang amat penting dalam Islam sangat asing bagi cara pandang tradisional Jawa.

Nah, dalam hal ini Ricklef kemudian menanyakan dan ingin mencari tahu mengapa hasil pengamata Geertz itu – yang konsisten dengan fenomena sosial yang teramati pada waktunya – kemudian dalam beberapa dasa warsa saja demikan tidak tepat karena perubahan sosial politik. Dan politik ternyata adalah bagian yang penting dari cerita perubahan tersebut.

Salah satu indakasi lainnya perubahan sosial itu dalam soal ibadah haji. Smapai tahun 1950-an orang yang berangkat naik haji dari wilayah Jawa jauh lebih rendah, bahkan lebih rendah jumlahnya dari sebelum masa Perang Dunia II. Pada 1914, terdapat 1.006 jamaah haji yang berangkat dari wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Madura, sementara pada 1921 terdapat 15.036 jamaah. Walaupun jumahnya besar tersebut bukanlah suatu yang biasa, sebab secaralebih umum dapat dikatakan bahwa rata-rata jumlah jamaah haji dari wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Madura adaah 8.400 orang per tahun dan tidak pernah lebih rendah dari 5.000 orang.

Walaupun dasarwarsa 1950-an merupakan periode yang tidak terlalau baik dari sudut pandang ekonomi bagi masyarakat Jawa, sulit untuk menjelaskan turunnya jumlah jamaah haji atas dasar menurunnya tingkat kemakmuran di antara kaum santri, sebab dasarwarsa 1920-dan 1930-an kiranya lebih berat dari aspek yang satu ini (adanya krisis ekonomi besar dunia).

Adanya kenyataan itu, maka kemudian menjadi bahan pertanyaan berikutnya apakah penurunan jumlah jamaah haji ini mencerminkan berlurangnya jumlah masyaraat Jawa yang cukup saleh dan taat pada ajaran Islam untuk menjalankan ibadah haji atau bahkan tengaj terjad ‘deislamisasi’. Namun, kemudia juga ada jawabannya yang lain, yakni penurunan jumah jamaah haji di Jawa pada dasawarsa 1950-an yang itu juga sudah terjadi sebelum masa peran, dalam hal ini kiranya menunjukan penurunan pendapatan masyarakat Indonesia secara umum.

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image