Islam di Jawa: Dari Lebaran, Kupat, dan Sambel Goreng Ati Hingga Kerajaan Jawa Pertama
Ustadz Salim Fillah pada suatu ceramahnya menyatakan salah satu keberhasilan para ulama dahulu dalam menyebarkan Islam di kalangan penduduk Jawa yakni memakai alkulturasi budaya. Mereka berusaha memasukan ajaran Islam ke dalam kandungan budaya dan lambang bantin (simbol) orang Jawa. Mereka tak ingin antara budaya dan penduduknya terjadi bentrokan diametral. Akibatnya ajaran Islam merasuk ke dalam dunia orang Jawa secara perlahan dan bertahap-tahap.
Akulturasi itu terlihat jelas jejaknya kota Yogyakarta. Berbagai arrsitektur bangunan, pilihan pohon yang ditanam, hingga penamaan jalan pun mengacu ke sana. Simbol itu makin jelas bila misalnya melihat gaya artsitektur bangunan masjid besar Kauman. Di sana banyak sekali simbol pesan ajaran Islam yang terligat pada bentuk bangunan hingga ornamennya. Tak hanya itu pilihan posisi berbagai kawasan dari alun, alun, penjara hingga pasar mereka terilhami oleh tradisi dalam kerajaan Islam yakni imperium Ottoman. Kalau sempat pergi ke Istana Tohkapi memang kemiripan itu terlihat. Cuma bedanya Tohkapi bangunnya lebih megah dan besar di tepi selat Boshporus yang memang indah. Tak ada gunung di sana.
Bila mengkaitkan elemen budaya Jawa dengan Isul Fitri (di Jawa disebut Bakda) ini terlihat pada setiap perayaan lebaran seperti hari ini. Contoh yang paling sederhana yakni pada hidangan hari lebaran. Di sana ada kupat sebagai ungkapan 'ngaku lepat' (mengaju bersasalah). Ada sambel goreng ati sebagai ungkapan mengaku bersalah dari dalam hati. Santan (santen) 'nyuwun pangapunten' (minta maaf). Jadi kalau ketiga hal itu yang tergabung dalam makanan dan kemudian dirangkai dalam satu kalimat lepat maka arti harfiah dari kupat hingga santan menjadi: Sedaya lepat kanthi tumusing ati nyuwun pangapunten' (semua salah dari hati terdalam minta maaf). Karena kupat dibuat dari daun kelapa muda yang di jawa disebut 'Janur' maka artinya setelah minta maaf yang tulus semoga itu menjadi 'Nur' (cahaya, red) kehidupan. Janur itu (seja ing nur) yakni berkehedak menjadi nur (cahaya),
Tapi bagi sejarah Indonesia, hal-hal simbol ini terasa asing. Bukan hanya itu malah dianggap hal-hal yang mengada-ada: ilmu 'gotak-gatuk' atau guhun tuhon atau bahkan dianggap takhayul. Ini karena apa? Ya karena sejarah Indonesia masih kental dengan warna kolonial yang semenjak dahulu berusaha menyingkirkan nilai Islam dalam masyarakat Jawa yang kemudian berusaha mereka ganti dengan nilai sesuai kehendaknya.
Hal itu Imisalnya, sampai kini sebagian sejarawan masih menganggap cerita babad sebagai takhayul yang tak bernilai. Padahal di sana penuh makna simbolik mengenai ajaran dan penyebaran Islam. Ini misalnya ketika babad bercerita mengenai penyerangan tentara Majapahit ke Giri. Di sana diceritakan tentara Majaphit lari tunggang langgang karena ada keris yang berputaran di udara dan kemudian berbalik menyerang bala tentara itu. Keris Sunan Giri itu bernama 'Kalamuyeng'. Padahal kalau dilacak 'Kalamuyeng' bisa diartikan bila pemimpin pasukan Majapahit saat itu kalah debat dengan Sunan Giri soal siapa pewaris tahta Majapahit yang syah. Kalammuyeng itu gabungan dari kata Kalam dan Muyeng (kata yang bikin pusing).