Apa itu Sindrom Stochomm yang Mengisahkan Korban Justru Jatuh Cinta Pada Pelaku Perampokan
Oleh: Teguh Setiawan, mantan jurnalis Republika
Hari itu, 23 Agustus 1973, Stockholm dikejutkan perampokan bank di siang bolong. Jan-Erik Olsson, narapidana berjuluk Janne, menyandera empat pegawai di brankas sebuah bank dan memicu krisis enam hari yang menyita perhatian sekujur Swedia.
Krisis itu melahirkan istilah psikologi yang mendunia, yaitu Stockholm Syndrome, atau -- kalau ditulis dalam Bahasa Indonesia -- Sindrom Stockholm.
Stockholm Syndrome adalah suatu kondisi psikologis ketika korban menjalin hubungan emosional dengan pelaku kejahatan, atau penculiknya. Selama 50 tahun, terhitung sejak peristiwa itu, Stockholm Syndrome menjadi perbincangan. Namun psikiater Swedia saat ini lebih suka menyebut Stockholm Syndrome sebagai konsep yang dibangun dan digunakan untuk menjelaskan kegagalan negara.
Bertil Ericsson, mantan fotografer kantor berita TT yang meliput penyanderaan itu, mengatakan semula orang mengira penyanderaan di bank itu hanya akan berlangsung 24 jam. Ternyata, penyanderaan berlangsung enam hari.
"Saya, dan semua kawan wartawan, yakin itu penyanderaan biasa, seperti yang terjadi di pesawat terbang," kenang Ericsson. "Ternyata, penyanderaan itu menjadi liputan mengasyikan."
Ericsson dan belasan wartawan, plus polisi, berkumpul sekitar alun-alun di luar Kreditbanken -- bank yang menjadi tempat peristiwa itu berlangsung. Kini, bangunan Kreditbanken menjadi toko pakaian.
"Kami pikir agak aneh korban jatuh cinta kepada perampok," kata Ericsson, mengacu pada istilah Stockholm Syndrome -- istilah yang kali pertama diciptakan psikiater Nils Bejerot.
Bejerot saat itu bagian dari negosiasi untuk membebaskan sandera dan mengakhiri penyanderaan. Ia bertugas menganalisis perilaku perampok dan sandera, dan menemukan hubungan yang aneh antara keduanya.